Kamis, 25 September 2008
Mengapa?
tidak adakah tempat yang lebih layak?
seperti di hatimu misalnya?
mengapakah kau sudutkan aku dengan setiap katamu?
tidak adakah kata yang lebih pantas?
seperti aku mencintaimu misalnya?
mengapakah kau buang hari-hari ini ke dalam patah hati?
tidak adakah kondisi yang lebih baik?
seperti jatuh cinta misalnya?
Rabu, 17 September 2008
Namaku Cinta
sedikit perubahan sih...just enjoy
---------------------------------------------------------------------
penampilanku tak seindah puisi sang pujangga
mungkin lebih baik aku dikatakan jalan berbatu
penuh kerikil menjebakmu untuk terjatuh
ada lubang membuatmu berada di dalamku
tapi kerikilku tak setajam mata pisau pembunuh
kerikilku mungkin melukai tapi kau akan sembuh nanti
lubangku tak sedalam sumur kebencian
kau mungkin terjatuh tapi aku membantumu naik
namaku cinta
kadang akan kau rasakan
sakitnya torehan kerikilku
dan gelapnya lubangku
tapi kau pasti akan bangkit
karena aku cinta
Istirahat Hati
hanya sebatas guratan tak bernapas
kala hati sedang menyendiri
berpangku tangan di singgasananya
rasa menjadi mati
lidah berganti kelu
kepala ikut menari
tetapi hati tetap duduk di situ
bangunlah wahai sang jiwaku
bakarlah imaji liar yang sempat membara
biar aku melantunkan lagu seperti dulu
berbaur ceria di dalam tawa
Selasa, 16 September 2008
Jelly Valentine
dengan sedikit proses editing tentunya...enjoy!
---------------------------------------------
Nayla menatap kalender harian yang menempel di dinding kamarnya. Kalender merupakan hal pertama yang dia dia lihat setiap paginya. Maka dari itu, Nay – panggilan akrabnya – pasti lebih dahulu ingat hari itu tanggal berapa, ulang tahun siapa, ada kejadian penting lainnya apa; ketimbang dengan dia harus memulai harinya dengan mengucap syukur kepada DIA yang masih mengijinkannya menikmati satu hari lagi.
Uh, seminggu lagi Valentine nih. Pacar ga punya. Tapi aku mau bikin sesuatu yang spesial. Toh aku punya teman-teman yang single juga. Hm…apa yah?
Nay berkutat sendiri dengan pikirannya dengan tentang hari kasih sayang itu. Nampaknya dia lebih suka memilih topik itu untuk dia lamunkan di pagi hari daripada memikirkan kuis yang akan diberikan oleh dosen Consumer Behavior-nya nanti siang. Sambil asyik-asyik melakukan ritual lamunan paginya, Nay pun lupa bahwa dia harus segera siap-siap ke kampus.
“Nay!” Terdengar seruan mama dari luar kamar. Buyarlah sudah lamunan indah Nay. Lalu terdengar langkah kaki yang terburu-buru menaiki tangga menuju kamarnya. Tak lama kemudian, sosok mama sudah melotot ke arahnya.
Sebelum keluar dari kamar Nay, mama Nay juga punya ritual khusus kalau masuk kamar anak sulungnya ini.
“Ini ada debu!” Mama Nay mencolek atas meja belajar Nay. Lalu dia berjalan ke arah lemari baju. “Ini juga. Malah lebih tebal. Aduh…kamu ini…”
“Mama juga sibuk. Malah pulangnya lebih malam daripada kamu. Tapi kamar mama bersih. Kamunya aja yang malas,” kata mama.
“Baiklah, mama the best deh!” kata Nay.
Duh mama ini…
“Kalau mama masih ngomel-ngomel sama Nay, gimana Nay mau siap-siap? Khan milih bajunya aja butuh konsentrasi, Ma!” kata Nay.
“Dasar!” kata mama.
Mama Nay melangkah keluar kamar. Nay bernapas lega. Walaupun hampir tiap hari mendapati kejadian serupa, Nay masih saja malas memenuhi amanat mamanya.
Nay langsung membuka lemari pakaiannya, mencoba memutuskan untuk memakai baju apa ke kampus hari ini. Setelah beberapa saat menatap isi lemarinya, akhirnya Nay menarik sebuah long t-shirt pemberian Tantenya yang berwarna biru tua kehijau-hijauan. Setelah itu dia menarik laci untuk mengambil perlengkapan lain untuk dipakai hari ini. Lalu dia juga mengeluarkan jaket jeans-nya dan langsung dipaksa masuk ke dalam tasnya.
Nay menuruni tangga dengan tergesa-gesa sambil melirik kamar mandi.
Bagus deh lagi kosong...
Lalu dia melihat adiknya yang masih setengah mengantuk berjalan menuju kamar mandi.
“De! Aku dulu!” teriak Nay.
Duk duk duk…
Nay menuruni tangga kayunya.
“Nayla! Kamu mau bikin tangganya patah ya?” Mama berteriak dari dapur.
“Ampun, Ma!” kata Nay. Lalu dia langsung masuk ke kamar mandi dan menimbulkan suara keras ketika menutup pintu.
“Aduh anak ini!” Mama kembali bersuara.
Setelah setengah jam, barulah segala macam kegaduhan di rumah pagi ini sudah berakhir. Adik Nay sudah pergi ke sekolah dengan jemputan. Ayah Nay sedang bersiap-siap menyalakan mobil. Sementara Nay dan mamanya masih bersiap-siap di kamar masing-masing.
Nay berdiri di depan kaca, mencermati bayangannya yang terpantul di
“Berangkat!” seru papa ketika sambil lalu di depan kamar Nay.
“Sip!” Nay langsung menyambar tasnya, memasukkan handphone-nya, dan mengambil uang ongkos yang sudah dia siapkan semalam.
“Gendut, aku pergi dulu!” kata Nay sambil berjongkok di depan meja ruang tamunya.
“Anak ini, bukan mamanya yang dipamitin!” kata mama.
Lha mama, sama kura-kura aja kok sewot sih?
“Iya deh. Ma, Nay pergi dulu yah!” kata Nay sambil mencium pipi mamanya.
“Udah sikat gigi?” tanya mama. Nay nyengir tak berdaya. Lalu dia menggeleng. Mamanya sudah siap melancarkan omelan lagi.
“Tenang, Ma! Nay bawa sikat gigi, lengkap dengan odolnya,” kata Nay sambil mengeluarkan alat-alat itu dari dalam tasnya. “Sikat giginya di kampus aja. Sekarang masih bau susu.”
“Justru karena bau susu, Nay!” kata mama.
“Ga baik Ma, sikat gigi sebelum 15 menit makanan terakhir masuk ke dalam mulut kita. Bye, Ma!” kata Nay sambil melangkah keluar rumah. Menghampiri papanya yang sudah siap untuk berangkat.
Seperti biasa, Nay ikut papa sampai depan kompleks, sisanya dia naik angkot. Nay langsung ambil posisi nyaman di angkot yang tidak begitu penuh. Lalu dia memutuskan untuk melanjutkan lamunannya.
Hm…tadi aku ngelamun sampai di mana yah? Hm…oh ya, hari Valentine bikin apa yah buat temen-temen? Masa kasih coklat lagi? Bosen ah. Lagian males bungkus-bungkus kayak tahun lalu. Yang simple apa ya?
Dia langsung mencoret idenya untuk memberikan coklat lagi. Kali ini dia ingin membuat sesuatu yang homemade. Dan berhubung dia tidak bisa masak coklat, jadi jelly menjadi pilihan tepatnya.
Setelah membaca ulang tugasnya dan menge-print-nya, Nay langsung membongkar koleksi cetakan jelly.
Wah lumayan juga nih.
Wajahnya berseri-seri membayangkan Rino sedang menyicipi jelly buatannya yang berbentuk hati. Senyum kecil pun tidak dapat dia tahan.
“Hayo! Senyum-senyum di depan cetakan jelly.
“Enggak kok, Ma!” kata Nay. Nay lalu mengambil dua buah cetakan. “Aku pakai dua cetakan aja.”
“Bikinnya kapan? Sekarang? Udah malam begini?” kata mama.
“Ya enggaklah. Sekarang mau dicuci dulu. Besok pulang kuliah baru masak. Jadi pas dibawa masih fresh,” kata Nay.
Hari H-pun tiba. Nay sempat-sempatnya bermimpi mengenai Rino, sang gebetan sekaligus sahabatnya itu. Dalam mimpinya, Rino menerima jelly itu dengan perasaan senang dan wajah berseri-seri. Lalu dengan senyumnya yang memikat itu, dia memuji rasa jelly dan mengucapkan terima kasih.
“Nay! Bangun! Kamu mau telat lagi?” Terdengar suara mamanya.
“Huh?”
“Malah senyum-senyum lagi! Pasti lagi mimpi yah? Ya ampun anak ini, kapan sih bisa bersikap dewasa?” kata mama. Nay membuka matanya.
“Mama nih, ga bisa lihat anak bahagia!” kata Nay.
“Kalau kamu bahagianya bukan cuma mimpi, mama rela!” kata mama.
“Hehehe”
Akhirnya dengan sedikit terburu-buru, Nay membereskan jelly-nya ke dalam Tupperware lalu memasukkan ke dalam tasnya. Wajah Rino masih terbayang-bayang.
“Nay! Papa nanti telat nih!” seru papa.
“Eh, eh, iya, Pa!” kata Nay.
Tupperware dibuka saat makan siang. Untungnya jelly-nya tidak terlalu mencair karena ruang kelas Nay cukup dingin. Mereka sengaja mengatur supaya satu geng berkumpul. Cuma Randa yang tidak ikut, karena dia sudah janji dengan orang lain.
Ah, ga masalah. Yang penting Rino ikut!
“Wah, Nay kok bikinnya yang mengandung banyak lemak sih?” kata Vio. Dia memang berbadan sedikit gempal, tapi masih kelihatan bentuknya kok.
“Udahlah, makan aja. Jangan gengsi. Jelly-nya enak. Khusus aku bikin buat kalian,” kata Nay. “Cuma tahun ini aku bikin. Sekali seumur hidup lho!”
Terutama buat kamu, Rino! Aku bikinnya sepenuh hati sambil membayangkan senyum kamu.
Ternyata bujukan Nay ampuh juga. Walaupun mereka sudah sama-sama menghabiskan satu porsi ayam kremes, tapi tetap jelly buatan Nay laris manis. Kini potongan jelly itu tinggal satu. Bentuknya hati.
“Nih, ada yang mau lagi ga? Last piece!” kata Nay menawari teman-temannya. Yang cewek-cewek langsung menolak dengan alasan sudah cukup kenyang.
Akhirnya Rino yang mendapatkan kehormatan untuk menghabiskannya. Walaupun menerima keputusan itu, Rino membagi dua jelly hati itu.
“Nih, setengahnya lagi buat yang bikin,” kata Rino. Lalu dengan cueknya, dia menyodorkan setengah jelly ke hadapan Nay dan menghabiskan setengah potongnya lagi dalam satu suapan.
Nay mengambil potongan itu dengan hati yang bahagia. Dengan semangat, dia menyuapkan potongan terakhir yang dianggapnya menjadi potongan terbaik ke dalam mulutnya.
Tapi…
“Yah!” Nay berseru dengan kecewa. Jelly itu meluncur lepas dari tangan Nay sebelum menyentuh bibir Nay.
Hua! Ga jadi deh…makan jelly sepotong berdua sama Rino! Tega! Sebel!
Teman-temannya tertawa melihat kejadian itu. Nay tidak mau perasaannya ketauan, dia ikut tertawa, walaupun sebenarnya ingin sekali memakan jelly itu.
Sabtu, 13 September 2008
Skripsi dan Puisi - Sebuah Rima Tak Berisi
-----------------------------------------
aku punya dua jiwa hari ini
antara skripsi dan puisi
keduanya bermain kata sana sini
menghasilkan tulisan yang asri
bingung hati untuk memilih
keduanya sudah memaku hati
mengingatkan untuk tak berpaling
aku bagaikan magnet dua sisi
hanya mampu berdiri tanpa memilih
kuhiraukan batasan yang menghalangi
kujadikan tanpa batas antara puisi dan skripsi
Cinta Bagiku
diposting d k.com dengan tag score 48. Dikit yah...? hehehe...
-------------------------------------------------------------
Kenapa orang menyebut perasaan ini cinta?
Cinta…sebuah kata singkat, tetapi memiliki kekuatan yang ga bisa kita kendalikan. Tapi perasaan yang mereka sebut cinta ini telah terjadi padaku.
Dan aku kecewa. Aku menjadi enggan untuk jatuh sekali lagi. Bukan cinta yang merekaumbarkan padaku yang aku rasa dan aku punya. Namun cinta yang telah ternoda oleh keegoisanseorang anak manusia. Cinta yang telah ternoda oleh kesempurnaan. Cinta yang telah ternodaioleh kemunafikan dunia. Cinta semu yang mengatasnamakan cinta.
Cinta…begitu sulit nyatanya. Tetapi kenapa orang begitu sering mengumbar kata cinta? Tidakpahamkah mereka seperti tidak pahamnya aku tentang cinta? Sehingga aku berani jatuh dalamkedalaman tak terbatas dari cinta itu sendiri? Sampai aku tersakiti oleh keterbatasan manusiadalam mencintai? Sampai aku muak dan enggan jatuh dalam cinta?
Sayangnya lagi…kekuatan cinta tidak bisa ada yang mengendalikannya. Malah cintalah yang mengendalikan kita. Sekali kita jatuh dalam kedalaman cinta, perjuangan untuk keluar tidaklahmudah, penuh batu dan kerikil tajam. Tetapi berada dalam cinta pun bukanlah pekerjaanmudah, ada banyak lubang yang harus dilalui dan kerikilnya juga tidak mengenal kata ampun.
CINTA-CINTA-CINTA…bolehkah aku memilih untuk tidak mengenalnya di dunia ini? Karena aku tidak bisa melihat cinta yang seperti apa yang bisa diakui di dunia ini, yang pasti bukan seperti yang aku pegang selama ini. Dunia tidak kenal cinta ini. Dunia hanya menawarkan kesemuan cinta yang mengatasnamakan cinta.
Tanpa Kamu
Masih dikit yah...maklum deh baru join...
lum banyak penggemar...halah!
--------------------------------------------
Aku berjalan di jalan yang panjang
Belum terpikirkan banyaknya likuan menanti
Tanpa kamu
Aku pernah tidak menyanggupi kenyataan ini
Aku pernah ingin memungkiri ini semua
Aku pernah ingin terus bermimpi dalam mimpiku
Di mana semuanya ada kamu
Senja berlalu dan malam mengapaiku
Tidak pernah kurasa senyaman ini diselimuti malam
Apalagi tanpa kamu
Tapi mengapa kali ini hatiku tersenyum
Membawa angin segar dalam hidupku
Yang kini tanpa kamu
Nyatanya aku tetap ada tanpa kamu
Nyatanya memang berat tetapi aku bertahan
Walau kadang hati ini tercabik dalam kebingungan
Tapi aku berhasil melaluinya
Tanpa kamu sekarang di sampingku atau dalam hidupku
Aku bertahan
Aku indah
Aku tersenyum
Tanpa kamu sekarang di samping atau dalam hatiku
Aku bahagia
Akankah kusanggupi selamanya tanpa kamu?
Akankah kita berpisah di sini?
Akankah tanpa kamu menjadi yang terbaik untukku?
Aku tidak tahu dan tidak akan mencari tahu
Yang kutahu hanyalah lalui hari tanpa kamu
Dan bahagia karenanya
Walau terkadang aku menyesali tanpa kamu di sini
Hilang dari Pemikiran
Berjalan kemudian berlalu begitu saja
Hidup ini penuh makna indah
Hidup ini penuh jerit perjuangan
Hidup ini penuh derai tawa dan tangis airmata
Sudahkah kita merenunginya?
Sudahkah kita menemukan maknanya?
Sudahkah kita menjerit dari derit perjuangan kita?
Sudahkah kita tertawa mensyukuri hidup ini?
Sudahkah kita menangis melihat penyesalan di belakang kita?
Masihkah Kau Bersamaku?
Memberi berkas harapan, seribu titik banyaknya
Kata-kata itu meluncur memberikan aku harapan
Saat itulah aku jatuh cinta
Berhari, berminggu, bertahun
Aku simpan jauh di lubuk hatiku
Mencari kepastian akankah kau tetap bersamaku
Senja itu menyapaku, menyakinkan aku akan perasaan itu
Kubisikkan itu dari hatiku yang paling dalam
Perasaan terjujur yang sejujurnya ingin aku perjuangkan
Kuberikan kata-kata itu padamu, mengesampingkan semua egoku
Yang kamu bisa kembalikan hanyalah seutas senyum
Dan meminta waktu untuk menunggu
Aku juga butuh waktu untuk keputusan terbaik
Sejak saat itu, aku coba memungkiri rasa yang berbeda darimu
Aku merasa kamu pergi menjauh
Aku merasa kamu tidak bisa jadi temanku lagi
Tapi aku mencoba untuk percaya pada kata terakhirmu
Akan aku pegang sampai tangan ini tidak mampu menggenggam
Masihkah kau bersamaku?
Memegang janji satu sama lain
Masihkah kau bersamaku sebagai teman terbaik?
Atau biarkan aku tahu janji itu palsu,
Biar aku bisa membebaskan tangan ini dari genggamanku sendiri
Masihkah kau bersamaku?
Kamis, 11 September 2008
Nama dan Cinta (part 2)
diposting di k.com dengan tag score 83. Not badlah...
-----------------------------------------------------
Jaka duduk di bangku kosong seberangku. Ketika dia melewatiku, segera saja, aroma tubuhnya yang berbau khas parfum cowok memasuki hidungku. Wangi yang mengingatkanku pada sepupuku yang kini sudah pindah keluar kota. Aku sangat suka dengan wangi ini. Sejenak aku merenung. Ya ampun, cowok ini kelihatannya begitu sempurna. Tak perlu kuulang lagi bahwa wajahnya ganteng, lesung pipinya menjadi nilai tambah, senyumnya manis, garis wajahnya tegas, matanya teduh, rambutnya modis, dan tangannya hangat. Maaf, aku baru saja mengulangnya lagi. Sekarang ditambah dengan wanginya yang membuatku nyaman. Kenapa namanya harus Jaka sih?
Jaka cepat bergaul dengan teman-temanku yang lain. Orangnya memang supel, ceria, dan ramah. Semua tampak menikmati pertemuan mereka dengan sosok Jaka ini. Tapi aku?
"Nama kamu beneran Jaka?" tanya Vania yang nampaknya belum percaya. Mungkin dia juga tidak ingin aku langsung putus harapan. Jaka membalasnya dengan tersenyum sebelum menanggapinya. Hm, aku benar-benar menikmati senyumnya. Seakan-akan ada hal yang terindah terpampang di depan matanya sekarang.
"Kenapa emangnya?" Dia malah balik bertanya. Vania tertawa.
"Oh, enggak. Soalnya wajah kamu tuh bukan wajah asli Indonesia. Pasti ada campuran luar," kata Vania. "Bener ga?" Lagi-lagi Jaka tersenyum. Ya ampun, bisa ga sih cowok ini ga usah senyum-senyum begitu di depanku? Hatiku sudah kebat-kebit dari tadi, menyaksikan senyumnya sambil menyesali kenapa orangtuanya tega menamai anak mereka yang rupawan ini Jaka.
"Kakekku orang Prancis, tapi orangtua semua WNI kok," kata Jaka. "Ga menurun ke aku terlalu banyak. Kakakku lebih kelihatan indonya." Nah, gimana kalau aku dikenalkan sama kakaknya saja, mungkin namanya bernuansa Prancis. Hm...aku mulai melamun. Kalau adiknya yang sebegitu menarik hati saja tidak terlalu kelihatan 'bule', bagaimana dengan kakaknya yang lebih terlihat 'bule'? Menarik sekali untuk dipikirkan.
"Oh, boleh donk dikenalin sama kakaknya?" kata Maria. Mungkin dia lupa ada Mario, pacarnya yang sedang melirik gemas ke arahnya. Lagi-lagi cowok itu tersenyum.
"Claire itu cewek," kata Jaka. "Mau dikenalin? Agak susah tuh, dia kerja di Belanda soalnya." Claire? Itu nama kakaknya? Kok bisa sih, nama kakaknya itu sementara dia sendiri dikasih nama Jaka? Pilih kasih banget orangtuanya.
"Kamu ga ikut ke Belanda?" tanya Cynthia yang sudah dari tadi penasaran berat.
"Aku dulu kuliah di Aussie. Baru wisuda bulan lalu," kata Jaka. Nah, ceritanya semakin menarik. Jaka di Aussie. Hmph...sesak aku memikirkannya.
"Oh, pulang liburan ya? Sama donk," kata Vania.
"Aku ga balik lagi kok ke sana. Nanti-nantilah, kalau mau ambil S2," kata Jaka. Pasti deh, dia ga betah tinggal di sana. Orang-orang Aussie mungkin agak susah menyebut namanya itu. Jaka, hm...mungkin dibacanya...hm...Jeke? Ya ampun, tidak!
"Sekarang sih mau sosialisasi dulu." Aku berani bertaruh. Matanya menatapku saat mengatakan itu. Dan senyumnya itu khusus buatku. Mati sudah. Apa yang harus aku perbuat? Cowok itu benar-benar menunjukkan ketertarikannya sekarang.
Kami ngobrol panjang lebar. Ternyata si Jaka ini sebenarnya pintar, hm...jenius malah. Dia masuk kelas akselerasi waktu SMA dan cuma menempuh kuliah selama tiga tahun. Semakin melengkapi kesempurnaannya. Oh, aku menginginkannya.
Tak lama kemudian, kami mengakhiri pertemuan ini. Teman-temanku diantar pulang oleh pacarnya masing-masing. Enak juga ya punya pacar. Sedangkan aku? Gampanglah, naik taksi saja.
"Mau bareng, Lou?" tanya Jaka. "Aku lewat Kuningan kok." Andai namanya bukan Jaka, aku pasti langsung antusias.
"Ga usah, Ka, aku pulang sendiri aja. Udah biasa. Takut ngerepotin kamu," kataku.
"Ga kok. Yuk!" kata Jaka. Akhirnya, sebagai rasa tidak enakku, aku mengekor di belakangnya menuju mobilnya.
Untuk beberapa saat, kami cuma diam-diaman sambil memusatkan konsentrasi ke jalanan. Aku sama sekali tidak berkeinginan membuka pembicaraan. Takut kalau aku akan menemukan sesuatu yang membuatku semakin menginginkannya.
"Hm...Lou?" panggil Jaka.
"Ya?" kataku.
"Kamu tuh cewek yang menarik lho! Aku suka," kata Jaka. What? Apa-apaan ini? Pengakuan cinta? Hm...slow down baby take it easy just let it flow...
Sungguh, bukannya aku kejam atau apa. Di luar namanya yang aneh itu, aku merasa sangat tersanjung mendapat pujian dari cowok seperti dia. Tetap saja...
Makanya aku cuma tersenyum tipis - entah dia melihatnya atau tidak - lalu kembali memandang ke luar jendela.
Setelah menunjukkan beberapa likuan, akhirnya Jaka mengantarkan aku sampai di depan rumahku.
"Terima kasih ya! Harusnya kamu ga usah repot begini," kataku.
"Ga apa-apa. Aku seneng kok," kata Jaka.
Aku meraih pegangan pintu, ingin segera beranjak.
"Oh ya, Lou, mungkin ini bisa membantu, kalau kamu lagi perlu jasa fotografer. Sampinganku sih," kata Jaka sambil mengulurkan selembar kartu nama.
"Oh, oke," kataku sambil menerima kartu namanya itu. Ah, gengsi menawarkan fotografer bernama Jaka sama teman-teman. Kesannya ga profesional.
Mobil Jaka berlalu. Aku masih berdiri di depan pintu untuk menunggu mobilnya menghilang di belokan.
Dalam keremangan malam, aku memandang kartu namanya yang diberikan Jaka padaku.
"Rapsody Photography
Jonathan Kelvin
08123456790
jaka_photo@xmail.com"
Aku bagaikan disambar petir tengah malam. Mataku bergantian memandang kartu nama itu dan belokan jalan yang kini sudah kosong.
Lalu bergantian scene-scene kehidupanku berjalan mundur.
Terus mundur sampai aku bisa melihat diriku 8 tahun lalu. Diriku bersama teman-teman yang sama yang baru saja aku temui.
"Ya ampun, itu toh yang namanya Jonathan Kelvin? Dia sih naksir berat sama kamu, Lou!" Suara Vania terdengar samar-samar di benakku.
"Ga mau! Peduli amat namanya paling keren seangkatan, atau dia naksir sama aku. Kuper gitu!" Kali ini suaraku. Lalu aku merasakan sikutan di tulang rusukku, sekaligus menerima pandangan Jonathan Kelvin untuk pertama kalinya - ingat, dia paling suka berjalan sambil lihat ke lantai sekolah -. Pandangan kami hanya berumur satu detik. Lalu dia menunduk lagi sambil mempercepat langkahnya. Aku tahu dia mungkin dengar dan tersinggung.
Lalu aku ingat perlakuan seorang Jaka padaku sore ini ketika kami bertemu. Dia hangat, ramah, dan sopan. Belum lagi penampilan fisiknya yang berbeda 180 derajat.
Ke mana kacamata pantat botolnya itu? Kini berganti dengan mata coklat teduhnya. Ke mana kawat gigi yang selalu menghiasi wajahnya? Kini berganti dengan deretan gigi yang rapi dan menyempurnakan setiap senyumnya.
Tunggu, tunggu, dia ingat aku tinggal di mana. Bukankah tadi dia bilang dia juga lewat Kuningan? Tahu dari mana dia aku tinggal di Kuningan?
Tanpa terasa, air mataku menetes. Aku merasa hina. Sangat hina.
Aku boleh punya nama yang indah. Tapi apa bedanya aku dengan cowok-cowok dengan nama bagus tapi kelakuan minus?
Tanganku menekan nomor yang tertera di kartu nama itu.
Setelah beberapa kali nada sambung, "Hallo?"
"Maafin aku ya, Jo!" kataku. Aku mendengar dia tertawa pelan.
"Udah, ga apa-apa," kata Jaka.
"Hm.."
"Lou, kamu keberatan menyapa aku Jaka?" kata Jaka.
"Ga kok," kataku. "Malah lebih keren."
"Hehehe" Terdengar suara tawa lepas. Aku lega.
"Ya udah, kamu istirahat aja."
Aku merasa bahagia sekali. Kini calon pangeranku sudah ada di depan mataku. Ya, pangeran ganteng, yang punya lesung pipi senmpurna, dengan mata teduhnya, dihiasi dengan senyum manisnya, dan diakhiri dengan hangat genggaman tangannya. Ups, belum, yang benar, diakhiri dengan cintanya padaku.
Dan aku bangga memanggilnya Jaka.
-Selesai-
Rabu, 10 September 2008
Nama dan Cinta (part 1)
diposting di k.com dengan tag score 51
----------------------------------------
Namaku Louisa Katarina. Sebagai pengagum nama-nama indah, aku sangat menyukai namaku yang unik itu. Impianku yang paling aneh – versi teman-temanku – adalah punya keluarga yang semuanya memiliki nama yang bagus.
Hal itu juga yang menyebabkan aku banyak digoda oleh teman-teman dekatku mengenai hal ini. Apalagi kalau mereka mengingat kejadian saat aku SMP dulu. Harus kuakui, memang agak memalukan sih.
Aku sudah dikenal sebagai maniak nama-nama bagus sejak SMP, tepatnya sejak aku mulai beranjak remaja. Saking aku suka sama nama yang bagus, kami sama-sama melihat absen di setiap kelas dan mencari satu nama yang bagus untuk dijadikan tantangan mendekati cowok itu. Akhirnya, setelah mencari, aku menemukan satu nama, yaitu Jonathan Kelvin. Menurutku, nama itu yang paling keren satu angkatan. Lalu kami sepakat untuk memulai rencana gila itu.
Betemulah aku dengan si pemilik nama Jonathan Kelvin itu. Tapi dalam sekali lihat aku langsung mengundurkan diri dan lebih rela menraktir teman-temanku makan pizza daripada harus mendekati cowok itu. Teman-temanku hanya tertawa, setengah bahagia setengah meledek. Walaupun namanya keren, tapi wajahnya sama sekali tidak keren. Oke, bisa dibilang aku sangat pemilih. Cowok itu memakai kacamata yang tebalnya hanya sedikit lebih tipis daripada pantat botol kecap yang sering dibeli oleh mamaku. Belum ditambah dengan giginya yang dipasang kawat. Tolong deh, delapan tahun yang lalu, memakai kawat gigi belum sekeren sekarang. Dan penampilannya yang super minus menurutku itu, diakhiri dengan cara jalannya yang selalu melihat ke bawah. Ada apa sih memangnya di lantai sekolah kami?
Walaupun kejadiannya sudah bertahun-tahun berlalu dan harusnya itu memberi pelajaran penting buatku, aku tetap saja si pencari pasangan hidup yang mementingkan nama. Begitulah aku.
Sore ini aku pergi ke salah satu café di bilangan Jakarta. Aku kembali berkumpul dengan teman-teman dekatku. Kami memang sudah teramat jarang berkumpul bersama karena sudah kuliah di tempat yang berbeda-beda juga. Kebetulan, salah satu temanku yang kuliah di luar negeri sedang liburan. Jadi, kami merasa ini adalah waktu terbaik untuk kembali berkumpul.
Ketika saling menanyakan kabar masing-masing, teman-temanku kaget ketika mengetahui bahwa aku satu-satunya di antara mereka yang masih sendiri alias belum punya pacar.
“Ah, pasti kamu bohong deh! Kamu khan tergolong oke, Lou!” kata Cynthia, salah satu temanku. “Jujur donk, Lou! Kita toh udah punya pacar masing-masing.” Aku tersenyum.
“Jangan bilang kamu masih pemilih kayak dulu?” kata Maria. Aku hanya mengaduk-aduk jus jerukku dengan sedotannya sambil mengangkat bahu.
“Gila ya! Inget umur donk, Lou!” kata Vania, temanku yang mengambil kuliah di luar negeri.
“Ambisi aku masih sama kok,” kataku. “Kepengen punya keluarga yang namanya bagus semua.”
“Ga mungkin deh, di kampus kamu yang notabene nya kampus mentereng itu nama cowok-cowoknya kampungan semua?” kata Vania.
“Aku ga bilang gitu kok,” kataku.
“Trus?” kata Maria.
“Nama mereka sih ga kampungan. Cuma tingkahnya tuh minus semua,” kataku. “Kebanyakan menduakan cewek.”
Teman-temanku serempak membentuk huruf ‘o’ dengan bibir mereka.
Tak lama kemudian, pesanan makanan sudah datang dan kami asyik menikmati makanan itu.
Setelah makan, para pacar temanku itu datang untuk bergabung bersama kami. Mereka memang tidak bisa ikut makan-makan karena rata-rata sudah bekerja. Melihat kedatangan mereka, aku langsung lemas.
“Jadi nyamuk donk nih?” kataku.
“Tenang, Lou, aku udah minta pacarku bawa satu temennya yang jomblo juga. Ntar dikenalin deh. Dijamin yang ini tingkahnya ga minus,” kata Cynthia sambil mengedipkan mata.
Benar saja, cowok-cowok itu datang berempat. Masing-masing temanku langsung melambai pada pacarnya masing-masing. Sebelum mereka sampai ke bangku kami, salah satu cowok berbelok ke arah toilet. Aku diam-diam berdoa kalau cowok yang berbelok itu masih single dan sengaja dikenalkan padaku. Habisnya, penampilannya paling keren, pembawaannya juga kalem, wajah cukup bisa membuatku menatap lekat-lekat.
“Mario.” Itu pacarnya Maria. Klop banget sih mereka.
“Gandhi.” Itu pacarnya Vania. Namanya kayak jaman Borobudur waktu dibangun.
“Renato.” Itu pacarnya Cynthia. Pasti orangtuanya mengharapkan yang lahir cewek dan sudah disiapkan nama Renata. Ga taunya yang keluar cowok, jadilah nama cowok ini Renato. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya.
Tunggu…tunggu…berarti, cowok yang ke toilet tadi masih single dan akan dikenalkan padaku. Wah, mimpi apa aku semalam?
“Temenku itu mau dikenalin sama temenmu ini ya?” tanya Renato sambil menunjuk aku. Cynthia mengangguk.
“Gimana menurut kamu?” kata Cynthia.
“Hey! Apa-apaan sih?” kataku.
“Hm…” Renato memberi tatapan menilai. “Not bad lah!”
“Maksudnya apa tuh?” kataku. “Kok cuma not bad?”
“Hehehe…I’m in relationship. Tapi ga tau ya, pendapat dia?” kata Renato sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah toilet.
Ini dia pangeranku. Hehehe…
“Lama banget sih?” tanya Renato. “Ngaca dulu di kamar mandi?” Oh, apapun jawabannya aku tidak peduli. Cowok heteroseksual bukan masalah, malah ada nilai plusnya. Itu khan artinya dia suka kerapihan dan wangi.
Cowok itu tersenyum.
“Enggak. Ngapain ngaca? Toiletnya penuh!” kata cowok itu. Nah, ini dia, lelaki sejati.
“Ya udah, kenalin nih! Temennya cewek gw!” Renato menunjukku. Aku dengan segera memasang senyum terbaik dan langsung mengulurkan tangan. Cowok itu menyambutnya. Tangannya hangat. Hm...
“Louisa.”
“Jaka.”
Senyumku langsung lenyap seketika mendengar cowok itu menyebut namanya. WHAT? Jaka? Calon pangeranku itu namanya Jaka? Ga salah tuh? Aku melirik teman-temanku. Mereka setengah mati menahan tawa melihat reaksiku yang seperti melihat hantu.
“Kamu ga apa-apa?” Cowok itu membuka suaranya. Aku kembali menatap cowok itu. Oh, matanya berwarna coklat muda, warna yang selalu bisa membuatku merasa tenang. Mata yang teduh. “Halo? Louisa?” Cowok itu melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Aku tersadar dari lamunanku.
“Apa?” kataku dengan sedikit gelagapan.
“Kamu ga apa-apa?” kata cowok itu.
“Oh, ga kok,” kataku. “Aku oke. Duduk deh!”
Darimana oke? Impianku punya cowok ganteng kayak dia, hancur berantakan. Wajahnya yang ganteng, ditambah dengan lesung pipi yang letaknya sempurna itu. Matanya yang coklat muda meneduhkan. Rambutnya yang modis. Senyumnya yang manis. Garis wajahnya yang tegas. Tangannya yang hangat. Oh, betapa aku menginginkannya. Tapi namanya Jaka? Mana bisa aku punya pacar namanya Jaka?
-bersambung-
Senin, 08 September 2008
Selamat Tinggal Cinta
postingan pertama di k.com.
Tag scorenya cuma 35 plus banyak kritik, hehehe...
-------------------------------------------------------
Hatshi…
Kla bersin persis di depan laptop busuknya itu. Kok bisa busuk sih teknologi secanggih itu? Maksudnya tuh laptop udah kecapaian bikin tugas ini itu dan disumpelin games ini itu juga, jadinya lemot abis. Cuma bisa bikin Kla protes mulu klo lagi kepengen buru-buru.
Hatshi...
Kali ini Kla terpaksa mesti beranjak dari tempat nyamannya yang berada di sudut tempat tidur untuk mengambil tissue.
“Hm...sekali lagi bersin, gw makan permen deh!” Kla berkata pada dirinya sendiri.
Dasar konyol.
Kla dengan santai menggosok-gosok hidungnya dengan tissue lalu membuang tissue itu ke tempat sampah. Dan dia kembali ke zona nyamannya. Kla mengetik beberapa kata di laptopnya. Tak lama kemudian tombol backspace ditekannya berulang kali dan halaman itu menjadi bersih. Kla menggaruk-garuk kepalanya berusaha menemukan ide dari rasa nyaman menggaruk kepalanya itu.
Hatshi...
“Sial!” umpat Kla pada dirinya sendiri.
Kla bangun dari tempat tidurnya dan turun dari lantai atas ke lantai bawah untuk mengambil permen dari piring permen di meja ruang tamunya. Lalu dia kembali ke atas sambil tersenyum penuh kemenangan dengan permen mint di mulutnya.
Alhasil, dia menjadi flu dan tertidur tanpa menyelesaikan apa yang harusnya dia selesaikan malam itu.
Keesokan harinya, Kla bangun kesiangan. Matanya berat dan hidungnya masih sedikit tersumbat.
To: Kla
Kla, hr ni qt jd ktmn? Aris.
Sender: Aris
Kla memandang getir sms itu.
“Jadi ga ya? Kok gw jadi nge-per sendiri sih? Bukannya niat gw udah bulet mau ngomong sama Aris? Hm...”
To: Aris
Terserah u aj. Gw bs koq ktmn hr ni.
Sender: Kla
Kla menekan tombol send. Dia tahu, Aris pasti bingung banget menerima sms itu. Lha wong, kemarin Kla yang minta ketemuan.
Walaupun dengan sedikit bingung, Aris mengerti jawaban dari Kla. Pertemuan itu tetap milik Kla, walaupun nampaknya Kla tidak ingin mengakuinya. Aris dan Kla sudah berteman cukup lama, dan tampaknya Aris punya cara yang khusus untuk menjaga hati Kla tetap menjadi miliknya. Ya, setidaknya itu yang Aris tahu.
To: Kla
Y dh, ktm t4 biasa y, Kla!
Sender: Aris
Kla menghela napas. Dia meletakkan handphone-nya di atas meja. Lalu dia duduk di tepi tempat tidurnya.
“Gimana ya cara ngomongnya?”
Kla bangun dari tepi tempat tidurnya. Keresahan dan kegelisahan menguasai dirinya. Kla bolak-balik mengitari kamarnya, mencoba untuk mencari ide, sambil sesekali bergumam pada dirinya sendiri.
“Ng...Ris, loe khan dah tau perasaan gw ke loe. Ya ga usah gw bilang secara gamblang donk? Tapi...Hm...hm... ArGh...!”
Kla merasa frustrasi sendiri.
Seperti yang sudah mereka atur, Aris datang menemui Kla. Kla sampai terlebih dahulu. Kla melihat Aris datang. Cowok memakai polo t-shirt berwarna biru, warna kesukaan Kla. Jantung Kla langsung berdetak kencang saat matanya menangkap pandangan Aris.
“Duh...kok dia tetap ganteng ya?” gumam Kla dalam hati.
Senyum Aris nampak semakin menggetarkan hati Kla, diiringi dengan sapaan khasnya, “Hai, Kla!”
Kla tidak mau kalah. Dia membalas senyuman Aris dengan senyuman yang dipikirnya terbaik “Hei!”
Aris menghampiri bangkunya, tetapi tidak duduk.
“Gw laper banget nih. Langsung cari makan ya, Kla?”
“Boleh,” jawab Kla. Dia mengambil tasnya dan mengikuti Aris, yang sudah jalan di depannya.
Sehabis makan, Aris nampaknya belum mau beranjak dari tempatnya. Jelas sekali, dia ingin mendengarkan maksud pertemuannya dengan Kla hari ini.
“Jadi, Kla, loe mau ngomong apa sih sama gw?” kata Aris membuka pembicaraannya.
“Hm...hm...” Hati Kla masih berdetakan tidak karuan.
“Loe kenapa sih? Loe aneh deh hari ini!” kata Aris dengan nada yang menyiratkan sedikit kekhawatiran.
Kla cuma melirik Aris sesaat lalu kembali menunduk. Ya iyalah! Gw kan mau ngasih kejelasan sama loe. Masa ga gugup? Udah gila! Lagian kenapa sih semalem malah ketiduran? Harusnya gw tuh ga ngomong apa-apa sama loe hari ini, kecuali ngasih tulisan itu yang bisa menjelaskan semuanya.
“Kla?” Kali ini Aris tidak mampu lagi untuk menahan rasa khawatir yang tersirat di dalam nada suaranya.
“Iya bentar, gw lagi nyusun kalimatnya!” sahut Kla dengan sedikit rasa jengkel karena merasa terdesak. Kla berbohong. Dia bahkan sama sekali ga tau bagaimana kata-kata itu semestinya keluar.
Setelah beberapa lama terdiam, Aris nampaknya mulai bisa membaca apa yang Kla ingin bicarakan padanya hari ini. Pasti ada hubungannya sama obrolan kita beberapa waktu yang lalu.
Ya, Aris masih ingat benar ketika Kla mengucapkan kata-kata itu: “Orang itu loe, Ris. Orang yang gw suka selama ini itu loe.”
Suara pecahan beling yang tidak sengaja dijatuhkan oleh pelayan ketika membereskan meja membuyarkan pikiran Aris dari bayangan masa lalu itu. Lalu dia menatap Kla, yang masih saja terpaku melihat meja seakan di meja itu tertulis semua yang ingin dikatakannya.
“Kla, klo ini tentang perasaan loe ke gw, gw bisa...”
Enggak, Ris! Kali ini giliran gw yang bicara. Loe sebenernya ga tau apa-apa tentang apa yang sebenernya gw rasain sama loe selama ini. Pikiran Kla berputar-putar di dalam kepalanya, mencoba mengalahkan suara Aris.
Kla memutuskan untuk memotong kata-kata Aris.
“Gw sayang sama loe, Ris, sayang banget. Tapi gw ga punya harapan untuk bareng sama loe. Harapan itu udah mati sejak gw bisa lihat siapa loe sebenarnya dan siapa gw di mata loe. Mungkin ini akan bikin loe lega karena loe ga usah buat yang jahat-jahat supaya gw ga berharap sama loe. Beberapa kejadian udah cukup buat gw untuk baca sinyal dari loe supaya gw bisa sayang sama orang lain selain loe.” Kla menghela napasnya dengan teramat lega kali ini. Lebih lega daripada memberitahu Aris kalau selama ini dia menyukai Aris.
Aris terbelalak kaget mendengar kata-kata Kla. Dia sama sekali tidak menyangka hal seperti itulah yang akan dikatakan Kla. Jelas Kla gugup, kata-katanya barusan bisa saja membuat semua yang sudah mereka jalani sebagai sahabat yang saling jatuh cinta hancur berantakan.
Saling jatuh cinta?
Nyatanya memang cuma Kla yang menyadari kalau dia jatuh cinta dan memperlihatkannya secara terang-terangan. Sedang Aris termakan oleh gengsinya sendiri yang membuat dia begitu tinggi hati mengakui kalau hari-harinya menjadi lebih berwarna dengan kehadiran Kla. Aris begitu sombong untuk bertahan pada hitam putih hidupnya, dan sama sekali tidak menggubris warna yang dilukiskan Kla.
Toh Kla udah cinta mati sama dia. Ga ada gunanya baik-baikin dia, itu tidak akan mengubah perasaan Kla. Akibatnya, Aris sama sekali tidak peka terhadap berkurangnya senyum Kla dan berkurangnya kata-kata Kla padanya belakangan ini.
Sampai sekarangpun, Aris masih gengsi.
“Sorry, ya, Ris, klo gw bikin loe kecewa. Gw beneran ga bermaksud apa-apa waktu gw bikin pengakuan itu sama loe. Cuma pengen loe tau aja,” kata Kla.
“Oh, enggak kok. Itu hak loe kok, Kla, untuk menaruh harapan atau enggak. Toh itu khan juga perasaan loe sendiri,” kata Aris mencoba untuk menutupi semuanya.
“Baguslah, kalo emang ga masalah. Thanks, ya, Ris! Loe udah mau ngertiin gw,” kata Kla.
“Iya, sama-sama. Makasih juga karena loe udah sayang sama gw sebegitu hebatnya selama ini,” kata Aris.
Mereka berdua sama-sama terdiam. Lalu tak lama kemudian mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat makan itu
“Hm...Kla, loe tau kan klo gw mau ke luar negeri? Yah...mungkin agak lama, tahunan,” kata Aris ketika mereka sedang berjalan bersama menuju mobil Aris. Aris sudah berjanji untuk mengantarkan Kla pulang.
Kla mengangguk.
“Tau kok. Itu khan udah loe rencanain dari lama dan itu khan mimpi loe selama ini,” kata Kla sambil tersenyum tipis.
“Mau nitip apa dari sana?” tanya Aris.
Kla terdiam. Masalahnya sekarang adalah dia memutuskan bahwa semuanya sudah selesai. apa yang pernah dimilikinya bersama Aris merupakan masa lalu dan hubungan mereka sekarang tidak akan sedekat yang dulu lagi. Kla baru saja menutup lembaran-lembarannya bersama Aris.
“Gw ga yakin kita bisa ketemu lagi klo loe udah pulang dari luar negeri, Ris,” kata Kla dengan pelan.
“Lho kenapa?” tanya Aris heran.
“Lebih baik loe ga tau deh, Ris! Sorry!” kata Kla.
Aris mengangguk pasrah.
Jadi intinya, ini terakhir kali gw ketemu sama dia?
Mereka berjalan beriringan dalam diam. Pada satu titik, Kla melihat ada pasangan yang berjalan berpapasan dengan mereka. pasangan itu bergandeng tangan dan terlihat begitu bahagia. Kla tersenyum getir, mencoba menepis bayangan pasangan itu adalah dirinya dan Aris. Sayangnya, Kla tidak bisa melihat kenanaran dalam pandangan mata Aris yang juga tertumpu pada pasangan itu. Hanya saja, Aris tidak terpaku lebih lama dari Kla.
“Kla?”
Lamunan Kla bubar.
“Ya?
“Loe ngapain sih ngeliat orang sampe kayak gitu?” tanya Aris.
“Oh...itu. Enggak kok. Kayaknya kenal, tapi ternyata bukan..”
Lagi-lagi Kla bohong.
“Ngiri ya, ada yang pegangan tangan?” tanya Aris. Kla tersenyum pahit.
“Hm...sometimes,” jawab Kla sekenanya.
“Hm...loe boleh pegang tangan gw kalo mau,” kata Aris. Walaupun dia mengucapkannya dengan nada yang cukup datar dan terkesan cuma main-main, dalam hatinya bergejolak dan pikirannya mengharapkan itu terjadi.
Kla sempat tersentak kaget mendengar kata-kata Aris. Tapi dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan satu gelengan sambil tersenyum tipis.
Terpaksa Aris sekali lagi memakan gengsinya sendiri.
Kenapa sih gw ga ngomong langsung aja klo sebenernya gw pengen pegang tangan dia?
Sesuai dengan janjinya, Aris mengantarkan Kla ke rumahnya.
“Makasih ya, udah anterin gw pulang,” kata Kla. “Harusnya ga usah.”
“Ini cuma masalah kecil, Kla. Harusnya gw yang berterima kasih sama loe. All I’m trying to say is thanks for loving me that way,” kata Aris.
Mata Kla panas.
Jangan, Kla! Aris ga pantes dapet air mata loe lagi.
Tapi sedetik kemudian, tangan Aris memalingkan wajah Kla agar gadis itu menatap dirinya. Lalu Aris mencium kening Kla.
“Denger, gw janji sama loe, Kla, saat gw balik nanti, gw akan cari loe dan gw mau loe menerima gw sebagai seseorang yang paling spesial dalam hidup loe seperti yang selama ini loe udah jalanin,” kata Aris. “Jujur, kalo sekarang gw belum siap, Kla!”
Air mata itu tidak sanggup bertahan lebih lama. Kla terisak pelan di depan Aris.
Kla tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Tetapi hatinya menjerit lebih kencang dari yang seharusnya. Tapi gw ga mau ketemu loe lagi. Udah hancur semuanya; berkeping-keping. Ga ada gunanya loe cari gw, loe ga akan bertemu sama Kla yang sama setelah ini.
“Kalau harapan itu udah mati, biar gw kasih loe yang baru,” kata Aris.
Pikiran Kla semakin menjerit kencang penuh dengan emosi. Cukup, Ris, loe nyakitin gw selama ini. Cukup gw berharap sama loe. Walaupun sekarang gw tau loe serius, tapi gw ga punya apa-apa lagi yang bisa gw kasih sama loe untuk buktiin sayang gw sama loe.
Kla menghentakkan dirinya dan melepaskan diri dari sentuhan Aris. Dia menatap dalam-dalam mata Aris. Walaupun dia menemukan kejujuran dalam tatapan mata itu – kejujuran yang belum pernah ada di sinar mata Aris selama ini –, dia tetap enggan meneruskan semuanya ini.
“Ris, maaf ya, gw ga bisa lagi. Gw bener-bener minta maaf,” kata Kla.
Lalu dia segera keluar dari mobil Aris.
“Thanks ya, Ris, buat tumpangannya! Bye!”
Kla berjalan masuk ke rumahnya tanpa menoleh ke belakang lagi. Dia tahu Aris masih memandanginya karena dia belum mendengar mesin mobil Aris pergi menjauh.
Ada kesedihan di hati Kla karena dia harus melepas Aris yang selama ini memenuhi hatinya, apalagi setelah tahu, bahwa Aris sebenarnya juga menyayanginya. Sayang sekali, kesempatan di hati Kla sudah tertutup sedemikian rapatnya sehingga dia sendiripun tidak bisa menemukan kuncinya.