Kamis, 11 September 2008

Nama dan Cinta (part 2)

diposting di k.com dengan tag score 83. Not badlah...
-----------------------------------------------------


Jaka duduk di bangku kosong seberangku. Ketika dia melewatiku, segera saja, aroma tubuhnya yang berbau khas parfum cowok memasuki hidungku. Wangi yang mengingatkanku pada sepupuku yang kini sudah pindah keluar kota. Aku sangat suka dengan wangi ini. Sejenak aku merenung. Ya ampun, cowok ini kelihatannya begitu sempurna. Tak perlu kuulang lagi bahwa wajahnya ganteng, lesung pipinya menjadi nilai tambah, senyumnya manis, garis wajahnya tegas, matanya teduh, rambutnya modis, dan tangannya hangat. Maaf, aku baru saja mengulangnya lagi. Sekarang ditambah dengan wanginya yang membuatku nyaman. Kenapa namanya harus Jaka sih?

Jaka cepat bergaul dengan teman-temanku yang lain. Orangnya memang supel, ceria, dan ramah. Semua tampak menikmati pertemuan mereka dengan sosok Jaka ini. Tapi aku?

"Nama kamu beneran Jaka?" tanya Vania yang nampaknya belum percaya. Mungkin dia juga tidak ingin aku langsung putus harapan. Jaka membalasnya dengan tersenyum sebelum menanggapinya. Hm, aku benar-benar menikmati senyumnya. Seakan-akan ada hal yang terindah terpampang di depan matanya sekarang.

"Kenapa emangnya?" Dia malah balik bertanya. Vania tertawa.

"Oh, enggak. Soalnya wajah kamu tuh bukan wajah asli Indonesia. Pasti ada campuran luar," kata Vania. "Bener ga?" Lagi-lagi Jaka tersenyum. Ya ampun, bisa ga sih cowok ini ga usah senyum-senyum begitu di depanku? Hatiku sudah kebat-kebit dari tadi, menyaksikan senyumnya sambil menyesali kenapa orangtuanya tega menamai anak mereka yang rupawan ini Jaka.

"Kakekku orang Prancis, tapi orangtua semua WNI kok," kata Jaka. "Ga menurun ke aku terlalu banyak. Kakakku lebih kelihatan indonya." Nah, gimana kalau aku dikenalkan sama kakaknya saja, mungkin namanya bernuansa Prancis. Hm...aku mulai melamun. Kalau adiknya yang sebegitu menarik hati saja tidak terlalu kelihatan 'bule', bagaimana dengan kakaknya yang lebih terlihat 'bule'? Menarik sekali untuk dipikirkan.

"Oh, boleh donk dikenalin sama kakaknya?" kata Maria. Mungkin dia lupa ada Mario, pacarnya yang sedang melirik gemas ke arahnya. Lagi-lagi cowok itu tersenyum.

"Claire itu cewek," kata Jaka. "Mau dikenalin? Agak susah tuh, dia kerja di Belanda soalnya." Claire? Itu nama kakaknya? Kok bisa sih, nama kakaknya itu sementara dia sendiri dikasih nama Jaka? Pilih kasih banget orangtuanya.

"Kamu ga ikut ke Belanda?" tanya Cynthia yang sudah dari tadi penasaran berat.

"Aku dulu kuliah di Aussie. Baru wisuda bulan lalu," kata Jaka. Nah, ceritanya semakin menarik. Jaka di Aussie. Hmph...sesak aku memikirkannya.

"Oh, pulang liburan ya? Sama donk," kata Vania.

"Aku ga balik lagi kok ke sana. Nanti-nantilah, kalau mau ambil S2," kata Jaka. Pasti deh, dia ga betah tinggal di sana. Orang-orang Aussie mungkin agak susah menyebut namanya itu. Jaka, hm...mungkin dibacanya...hm...Jeke? Ya ampun, tidak!
"Sekarang sih mau sosialisasi dulu." Aku berani bertaruh. Matanya menatapku saat mengatakan itu. Dan senyumnya itu khusus buatku. Mati sudah. Apa yang harus aku perbuat? Cowok itu benar-benar menunjukkan ketertarikannya sekarang.

Kami ngobrol panjang lebar. Ternyata si Jaka ini sebenarnya pintar, hm...jenius malah. Dia masuk kelas akselerasi waktu SMA dan cuma menempuh kuliah selama tiga tahun. Semakin melengkapi kesempurnaannya. Oh, aku menginginkannya.

Tak lama kemudian, kami mengakhiri pertemuan ini. Teman-temanku diantar pulang oleh pacarnya masing-masing. Enak juga ya punya pacar. Sedangkan aku? Gampanglah, naik taksi saja.

"Mau bareng, Lou?" tanya Jaka. "Aku lewat Kuningan kok." Andai namanya bukan Jaka, aku pasti langsung antusias.

"Ga usah, Ka, aku pulang sendiri aja. Udah biasa. Takut ngerepotin kamu," kataku.

"Ga kok. Yuk!" kata Jaka. Akhirnya, sebagai rasa tidak enakku, aku mengekor di belakangnya menuju mobilnya.

Untuk beberapa saat, kami cuma diam-diaman sambil memusatkan konsentrasi ke jalanan. Aku sama sekali tidak berkeinginan membuka pembicaraan. Takut kalau aku akan menemukan sesuatu yang membuatku semakin menginginkannya.

"Hm...Lou?" panggil Jaka.

"Ya?" kataku.

"Kamu tuh cewek yang menarik lho! Aku suka," kata Jaka. What? Apa-apaan ini? Pengakuan cinta? Hm...slow down baby take it easy just let it flow...
Sungguh, bukannya aku kejam atau apa. Di luar namanya yang aneh itu, aku merasa sangat tersanjung mendapat pujian dari cowok seperti dia. Tetap saja...
Makanya aku cuma tersenyum tipis - entah dia melihatnya atau tidak - lalu kembali memandang ke luar jendela.

Setelah menunjukkan beberapa likuan, akhirnya Jaka mengantarkan aku sampai di depan rumahku.

"Terima kasih ya! Harusnya kamu ga usah repot begini," kataku.

"Ga apa-apa. Aku seneng kok," kata Jaka.

Aku meraih pegangan pintu, ingin segera beranjak.

"Oh ya, Lou, mungkin ini bisa membantu, kalau kamu lagi perlu jasa fotografer. Sampinganku sih," kata Jaka sambil mengulurkan selembar kartu nama.

"Oh, oke," kataku sambil menerima kartu namanya itu. Ah, gengsi menawarkan fotografer bernama Jaka sama teman-teman. Kesannya ga profesional.

Mobil Jaka berlalu. Aku masih berdiri di depan pintu untuk menunggu mobilnya menghilang di belokan.

Dalam keremangan malam, aku memandang kartu namanya yang diberikan Jaka padaku.

"Rapsody Photography
Jonathan Kelvin
08123456790
jaka_photo@xmail.com"

Aku bagaikan disambar petir tengah malam. Mataku bergantian memandang kartu nama itu dan belokan jalan yang kini sudah kosong.

Lalu bergantian scene-scene kehidupanku berjalan mundur.
Terus mundur sampai aku bisa melihat diriku 8 tahun lalu. Diriku bersama teman-teman yang sama yang baru saja aku temui.

"Ya ampun, itu toh yang namanya Jonathan Kelvin? Dia sih naksir berat sama kamu, Lou!" Suara Vania terdengar samar-samar di benakku.

"Ga mau! Peduli amat namanya paling keren seangkatan, atau dia naksir sama aku. Kuper gitu!" Kali ini suaraku. Lalu aku merasakan sikutan di tulang rusukku, sekaligus menerima pandangan Jonathan Kelvin untuk pertama kalinya - ingat, dia paling suka berjalan sambil lihat ke lantai sekolah -. Pandangan kami hanya berumur satu detik. Lalu dia menunduk lagi sambil mempercepat langkahnya. Aku tahu dia mungkin dengar dan tersinggung.

Lalu aku ingat perlakuan seorang Jaka padaku sore ini ketika kami bertemu. Dia hangat, ramah, dan sopan. Belum lagi penampilan fisiknya yang berbeda 180 derajat.
Ke mana kacamata pantat botolnya itu? Kini berganti dengan mata coklat teduhnya. Ke mana kawat gigi yang selalu menghiasi wajahnya? Kini berganti dengan deretan gigi yang rapi dan menyempurnakan setiap senyumnya.

Tunggu, tunggu, dia ingat aku tinggal di mana. Bukankah tadi dia bilang dia juga lewat Kuningan? Tahu dari mana dia aku tinggal di Kuningan?

Tanpa terasa, air mataku menetes. Aku merasa hina. Sangat hina.

Aku boleh punya nama yang indah. Tapi apa bedanya aku dengan cowok-cowok dengan nama bagus tapi kelakuan minus?

Tanganku menekan nomor yang tertera di kartu nama itu.

Setelah beberapa kali nada sambung, "Hallo?"

"Maafin aku ya, Jo!" kataku. Aku mendengar dia tertawa pelan.

"Udah, ga apa-apa," kata Jaka.

"Hm.."

"Lou, kamu keberatan menyapa aku Jaka?" kata Jaka.

"Ga kok," kataku. "Malah lebih keren."

"Hehehe" Terdengar suara tawa lepas. Aku lega.

"Ya udah, kamu istirahat aja."

Aku merasa bahagia sekali. Kini calon pangeranku sudah ada di depan mataku. Ya, pangeran ganteng, yang punya lesung pipi senmpurna, dengan mata teduhnya, dihiasi dengan senyum manisnya, dan diakhiri dengan hangat genggaman tangannya. Ups, belum, yang benar, diakhiri dengan cintanya padaku.

Dan aku bangga memanggilnya Jaka.

-Selesai-

2 comments:

Anonim mengatakan...

hore tebakan gw benaaaaar! hahaha.
tp lucu skali. ampe nyengir-nyengir sendiri pas baca. hahaha

Anonim mengatakan...

aduh jonathan kek, jaka kek...
yg penting mah guanteng abiesss...
kira2 gmn yah muka jo ato jaka itu yahhhh????
ada fotonya ga? :P
critanya bagus kok... plotnya ok, ga byk basa basi...
Otre deh, maju terus ye...