Rabu, 25 Juli 2012

Who Do You Think You Are


Plak!

Aku berbalik menampar wajah Nando.

Keterlaluan sekali dia, makiku dalam hati.

“Yuk, kita bikin juga yang seperti itu.”

Begitu santai Nando mengucapkannya di balik telingaku, menghentikan derasan air mataku menyaksikan peristiwa paling mengharukan yang baru saja kusaksikan. Arika, sepupuku, baru saja melahirkan. Dan kini Fabian, suaminya, sedang menggendong seorang bayi mungil yang masih semerah darah dengan wajah bangga dan haru. Tidak sedikit yang mengikuti jejakku menangis.

Sebenarnya aku menangis tidak sepenuhnya karena terharu, tetapi juga karena tidak kuat menahan perih yang mencubit-cubit hatiku karena Nando datang ke sini. Kalau saja Fabian menyadari bahwa Nando sempat ngotot masuk ke dalam ruangan bersalin, pasti Nando tidak akan selamat dari gulatan Fabian.

Memangnya siapa Nando? Mantan pacar bukan, teman juga sekedarnya. Tapi Fabian tidak menyadari lumuran cinta Nando pada istrinya itu sudah menyertai Nando selama beberapa tahun belakangan ini. Ya, walaupun Nando tahu Arika memilih Fabian. Dan menikah dengannya. Dan kini mempunyai sebuah keluarga mungil yang bahagia dengan Fabian. Tidak ada celah buat Nando.

Sakit itu terus menggigiti hatiku. Nando yang aku cinta. Nando yang selalu aku rindukan. Nando yang bertahun-tahun mengabaikan aku. Nando yang bahkan tidak menyadari aku hadir di tempat itu. Nando yang tidak pernah memilih aku. Nando yang masih mencintai Arika bahkan ketika Arika sudah memiliki keluarga sendiri.

Oh, betapa luhurnya perasaan cinta Nando…sampai dia mengucapkan kalimat sialan yang membuat aku menampar wajahnya.

Bukannya aku sudah melupakan Nando. Tidak, sedetikpun aku tidak pernah bisa. Perasaanku padanya…entahlah…aku tidak tahu namanya. Apapun namanya, perasaan itu masih menghantuiku mewarnai malam-malamku dengan mimpi tentangnya.

Bahuku masih naik turun menahan rasa haru dan perih yang bersamaan menyerangku. Airmataku sudah berhenti dan hanya meninggalkan jejak-jejaknya di pipiku. Aku menatap Nando yang baru saja kutampar. Dia membalas pandanganku dengan memelas. Aku tidak peduli semua perhatian tercurah pada kami berdua yang terlihat siap tempur di medan perang.

“Kamu pikir kamu siapa, bisa bilang begitu sama aku, hah?” semprotku. Nando hanya diam. Dia menunduk. Bagiku, lagaknya terlihat seperti orang yang menyesal. Entah apa yang dia perlu sesali. Hm…mungkin menyesali kenyataan bahwa dia tidak bisa bersama Arika. Lalu, perlahan tapi pasti, Nando mengangkat kepalanya dan menatap mataku.

“Aku tahu kamu masih cinta sama aku, Fran.”

Oh, berani sekali dia mengumumkannya pada semua orang di sini. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang hadir di sini tidak semuanya mengenalku. Dan yang mengenalku sudah tahu cerita lama ini.

“Lalu?” tanyaku sambil menatapnya dengan dingin.

“Bisakah kita bersama?” Lancang!

Aku ingin memakinya. Aku juga ingin mengumumkan tentang perasaannya pada ibu si bayi mungil yang baru saja mengecap dinginnya dunia. Tapi aku tahu diri. Tidak perlu merusak momen bahagia ini dengan roman picisanku.

Aku menatap mata Nando dengan tegas.

“Tidak. Sudah terlambat,” tegasku.

Walaupun aku masih menginginkan Nando, tetapi bukan seperti ini. Bukan menjadi pilihan terakhir saat pilihan pertamanya sudah tidak tersedia lagi.

“Maaf, Nando. Kamu bukan orang yang tepat untuk mengisi hari-hariku lagi. Terimalah, waktunya sudah berlalu. Aku berubah.”

Ya, aku adalah pembohong ulung.

Jumat, 13 Juli 2012

Hiburlah Aku

Wahai malam
Hiburlah aku
Dari duka kesendirian
Temani aku dengan bintangmu

Wahai hujan
Hiburlah aku
Basuh semua luka
Sucikan aku dengan tetes airmu

Wahai mentari
Hiburlah aku
Sinarilah kegelapanku
Tunjukkan jalanku

Hiburlah aku
Tolong...hiburlah aku

Kamis, 12 Juli 2012

Perih

Ingin kucabik-cabik hatiku
Menemukan sisa cinta untukmu
Aku ingin membuangnya

Karena perih ini tidak bisa sirna
Maaf ini tidak pernah tulus terucap
Luka bernanah terus membasah
Aku sakit

Airmataku tak pernah bisa habis menangisimu
Nuraniku tidak bisa paham
Apa yang salah dengan mencintaimu?

Don't Ever Let Me Go


I’m sorry because I just realized just now
That there’s a place in my heart for you
I have crossed the ocean
Try to find someone like you
But when time made us meet again
I’m sure this is love
Please don’t ever leave me
For I have this loving feeling for you

Selasa, 10 Juli 2012

Apa Namanya?

Kalau bukan cinta apa namanya?
Hati bergetar hebat hanya dengan menuliskan namamu
Senyum terukir hanya dengan bayangmu
Air mata berderai hanya dengan kepergianmu

Kalau bukan sayang apa namanya?
Aku tidak rela melihat kamu menderita
Memilih menggantikan tempatmu
Melindungimu dari segala kekejaman dunia

Kalau bukan suka apa namanya?
Malam-malam panjang terbayang kamu
Senja menutup siang gelisah hati
Mentari pagi sama seperti senyummu

Senin, 09 Juli 2012

Siapa Kamu

Entah
Aku mungkin tidak mengenalmu
Atau bahkan
Aku sangat dekat denganmu, dulu

Kalau Kamu Kembali

Aku tidak berharap kamu akan kembali
Bertatap muka atau bertukar cerita
Bahkan berjalan bersisian seperti dulu lagi
Rasa itu sudah mati bahkan sebelum berbunga

Jadi kalau kamu kembali dan melihatku berpaling
Tolong maafkan aku
Kenangan sepasang kita hanyalah cerita lama
Kamu sudah menentukan pilihanmu

Menjauh dari aku sejauh yang kamu bisa
Terpisahkan samudera dan benua
Kamu pikir ini tidak sakit
Kamu kira aku tidak tercabik-cabik

Oh sudahlah
Kamu tidak mengenalku
Dan aku juga terlalu bangga merasa mengenalmu

Demi Tuhan aku mencintaimu
Bukan ingin membunuhmu
Aku tidak mengerti mengapa kamu harus lari
Hanya bilang 'tidak' saja aku akan pergi

Wanita Ketiga - Final

Cerita sebelumnya: 
Wanita Ketiga - Part 1
Wanita Ketiga - Part 2

----------------------------------------------------------------------------------------------

Hilda melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran Perancis, tempat dia bertemu janji dengan Donny. Hilda membalas sapaan pelayan yang membukakan pintu untuknya dengan seutas senyum. Matanya menyapu restoran itu dengan heran. Tidak ada seorangpun yang duduk makan di restoran itu, padahal itu adalah Sabtu malam. Dia hanya melihat Donny duduk di salah satu meja.
Lelaki itu tersenyum ketika matanya bertemu dengan sosok Hilda yang menggunakan little black dress yang membalut tubuhnya dengan indah. Hilda berjalan mendekati Donny.
“Kamu memesan restoran ini?” tanya Hilda. Donny mengangguk.
“Spesial buat kamu,” jawab Donny.
“Dalam rangka apa?” cecar Hilda.
“Dengar, selama ini kamu sudah melalui banyak hal, terutama akhir-akhir ini kamu selalu terlihat sedih dan stress. Aku hanya ingin membahagiakan kamu, mengembalikan senyum kamu,” kata Donny. Hilda tersenyum. Hatinya tersentuh.
“Terima kasih, Don!” ujar Hilda tulus.
Entah karena malam itu berlalu begitu indah dan menyentuh relung terdalam hati Hilda atau karena kadar alkohol yang masuk ke tubuhnya melalui wine yang terus menerus dinikmatinya, Hilda kini larut dalam ciuman lembut yang diberikan Donny di akhir acara makan malam mereka. Setelah beberapa lama, Hilda pun setuju untuk menginap di sebuah hotel yang tidak jauh dari restoran itu.
Donny mendorong pelan tubuh Hilda sehingga wanita itu terbaring di atas kasur yang empuk. Donny kembali menciuminya. Hilda dilanda oleh dilemma yang begitu hebat. Dia tahu dia harus menghentikan Donny sebelum lelaki itu bertindak lebih jauh. Tetapi dia juga menikmati rasa hangat dari napas Donny yang menyentuh kulitnya, dan dia menginginkan lebih.
Donny membelai pipi Hilda, matanya begitu dalam menatap wanita itu. Hilda bisa melihat ada gairah dalam kelembutan tatapan Donny. Dan dia juga yakin lelaki itu pasti melihat hal yang sama dalam dirinya sekarang. Tetapi ini tidak boleh terjadi. Hilda tidak ingin ada yang merasa sakit hati hanya karena gairah semata.
Can I?” desah Donny sambil menyentuh leher Hilda dengan bibirnya, meminta ijin untuk bertindak lebih jauh.
Hold it!” ujar Hilda. Dia memegang kedua bahu Donny dan berusaha mendorong lelaki itu menjauh dari tubuhnya. Donny mengangkat tubuhnya menjauh dari Hilda, membuat jarak di antara mereka. Hilda beringsut di kepala ranjang, menyandarkan tubuhnya pada sandaran itu. Dia menatap lekat lelaki itu. Donny menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, gugup.
“Aku tidak bisa melakukan ini, Donny!” bisik Hilda. “Kita tidak boleh melakukan ini.” Donny meraih tangan Hilda dan menggenggamnya.
“Aku menginginkan kamu dan aku tahu kamu juga menginginkan aku,” bujuk Donny, walaupun dia tahu kata-kata Hilda benar, mereka tidak bisa melakukan ini. Tetapi, Hilda sudah menanggapi undangannya untuk makan malam bersama yang penuh keromantisan. Wanita itu juga sudah membalas ciumannya lebih dari yang dia duga. Dan pada akhirnya mengiyakan ajakannya untuk menginap di sebuah kamar hotel. Donny tidak bisa melihat ke mana akhir malam yang sempurna ini selain di atas tempat tidur itu, bersama Hilda.
Hilda menelan ludah. Donny tidak salah, sama sekali tidak salah. Dia menginginkan lelaki itu. Tetapi dia tidak bisa, tidak boleh. Hilda menatap mata Donny. Dia tahu dia telah jatuh cinta pada lelaki ini sebelum dia jatuh cinta pada lelaki-lelaki lain setelahnya. Ini juga momen yang mungkin dia tunggu-tunggu selama ini. Tetapi semua sudah terlambat.
Hilda menarik napas panjang. Dia mendekatkan dirinya pada Donny yang duduk di depannya.
“Aku mencintai kamu, Donny. Aku mau kamu bahagia,” bisik Hilda. Donny bisa merasakan rambut-rambut di tengkuknya berdiri. Donny merengkuh Hilda dalam pelukannya.
“Aku juga mencintai kamu,” aku Donny. “Be mine tonight!” lanjut Donny penuh desakan. Dia begitu menginginkan wanita ini lebih dari apapun yang dia inginkan. Donny merasakan gelengan Hilda di pundaknya. Wanita itu lalu melepaskan dirinya dari pelukan Donny.
“Don, aku minta maaf karena aku bertindak terlalu jauh malam ini,” kata Hilda. “Aku mencintai kamu, tetapi bukan cinta yang sama seperti yang kamu rasakan.”
“Maksud kamu apa?” tuntut Donny. “Ciuman kita nyata, sentuhan kamu begitu menginginkan aku. Apa itu tidak cukup buat kamu?” Hilda meraih tangan kanan Donny, mengangkatnya setinggi hidung mereka yang sejajar. Bias lampu tidur yang remang-remang menerangi kamar itu mengenai benda yang melingkar di jari manis Donny.
“Kamu sudah menikah, Donny! Dengan wanita yang bukan aku,” tegas Hilda. “Apa bedanya kamu dan Edwin kalau kamu meniduri aku malam ini?” Donny tersigap. Dengan gerakan yang tidak pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri, Donny melepas cincin itu dan meletakkannya di atas meja yang ada di samping tempat tidur. Dia menginginkan Hilda malam itu, titik.
Hilda menjauhkan dirinya dari Donny. Ada rasa benci yang kini menguasai dirinya. Rasa benci untuk Donny dan juga untuk dirinya sendiri. Dia bangun dari tempat tidur, mencari-cari sepatunya dalam gelap.
Donny tidak diam saja, dia tidak akan membiarkan Hilda pergi. Dengan satu gerakan cepat dia menangkap tubuh Hilda dan menahannya di antara tembok dan tubuhnya sendiri.
“Aku menginginkan kamu. Ayolah…aku tahu kamu juga begitu menginginkan aku,” desak Donny. “Kita selesaikan malam ini dan baru ambil keputusan besok pagi.” Hilda menggeleng cepat. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia takut.
I’ll be gentle, don’t be scared!” bujuk Donny sambil menyusuri sisi wajah Hilda dengan jemarinya. Hilda menggeleng lagi. Dia tidak dapat menahan air matanya lagi. Ketakutan dan kebenciannya menjadi satu, melebur menjadi butir-butir air mata.
“Lepaskan aku!” pinta Hilda. Donny mengencangkan pegangannya pada kedua pergelangan tangan Hilda. “Lepaskan aku, Donny!” teriak Hilda. “Aku tidak tertarik bercinta dengan kamu!” Hilda terisak-isak. Spontan Donny melepaskan pegangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Hilda.
“Donny, Edwin tidur dengan wanita lain. Aku tidak bisa menjadi orang yang sama dengan orang yang sudah menghancurkan hidupku. Kamu tahu, tanpa Edwin, hidupku sudah tidak ada artinya lagi,” tangis Hilda. Tubuhnya merosot ke lantai kamar hotel. Donny menatapnya dalam diam. “Cuma kamu yang mau menolong aku, menemani aku melalui semuanya ini.” Donny hanya setengah mendengarkan. Keterkejutannya belum hilang. Dia memikirkan hal yang lain.
“Apa maksud kamu ketika kamu bilang kamu mencintai aku? Kamu pikir kata-kata itu hanya buat permainan?” bentak Donny. Dia tiba-tiba muak berada di depan Hilda.
“A…aku…aku benar-benar mencintai kamu, it’s not a lie,” bantah Hilda. Donny merapikan kemejanya yang mencuat di sana-sini. Dia mengambil cincin kawinnya dan mengenakannya kembali di jari manis kanannya. Dia memungut jasnya dari lantai dan melangkah menuju pintu kamar hotel. Dia membuka pintu itu.
“Ya, kamu mencintai aku tetapi bukan cinta yang sama seperti yang aku rasakan,” ujar Donny mengulang kalimat yang diucapkan Hilda sebelumnya. Donny menutup pintu kamar itu dan meninggalkan Hilda yang tenggelam dalam kesendirian dan kesedihan.

-Selesai-

Cantik

Aku membaur alas bedak
Menutupi semua cela di wajahku
Membuatku sepucat putih
Tunggu, aku belum selesai

Aku menaburkan bedak di atasnya
Mengembalikan kilap alami
Mewarnai kepucatan yang baru saja ku buat sendiri
Belum, masih ada lagi

Aku usapkan perona pipi
Membohongi mata dengan semburat merah
Terlihat seperti sedang bahagia
Ah, masih belum

Aku oleskan pemerah bibir
Supaya tidak ada yang tahu betapa keruhnya
Akibat kopi yang mencandu
Hampir siap

Aku membubuhkan garis mata
Membantu mataku terlihat lebih besar
Membiarkan binarnya menghipnotismu
Lalu aku pergi

Aku berhenti menatap tubuhmu yang mendekatiku
Inikah yang kamu inginkan?
Aku yang seperti inikah?
Kalau ya, lebih baik kamu buang semua harapmu
Karena aku lelah dengan kemunafikan

Minggu, 08 Juli 2012

Wanita

Maaf ya, saya tiba-tiba galau...
---------------------------------------------------------------------------

Aku harus jadi wanita seperti apa?
Supaya layak bersanding dengan kamu
Tidak cukupkah rasaku ini padamu?
Perlukah aku memenangkan dunia ini untukmu?
Dunia seperti apa yang kamu inginkan?

Wanita Ketiga - Part 2

Cerita sebelumnya:
Wanita Ketiga - Part 1

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hilda dengan enggan membuka matanya. Sinar matahari yang sedari tadi masuk ke dalam kamar berhasil membuatnya terbangun. Dia membuka matanya sedikit, lalu menutupnya lagi. Sinar matahari itu terlalu menyilaukan untuk matanya. Lagipula dia belum ingin beranjak dari tempat tidurnya. Kepalanya pusing dan rasa kantuk masih menguasainya.
Hilda membalikkan badannya, mencari bagian kasur yang masih dingin. Dia pun berniat untuk kembali tidur.
“Hei, Putri Tidur!” Sebuah suara menyapanya, suara seorang lelaki. Rasa kantuk Hilda tiba-tiba menguap. Dia menyiagakan dirinya. “Sampai kapan kamu mau tidur seperti ini?” Suara itu terdengar begitu ramah dan romantis. Hilda bisa merasakan kasur itu bergerak saat lelaki itu duduk di sampingnya. Hilda menahan napas sebelum dia membuka matanya untuk melihat siapa lelaki itu.
“Donny?” ujarnya tak percaya. Matanya terbuka semakin lebar ketika melihat lelaki itu bertelanjang dada. Lelaki itu mengalihkan pandangannya dari Hilda, menyembunyikan kekecewaannya.
“Ya, ini aku. Siapa yang kamu harapkan?” tanggap lelaki itu, terdengar tersinggung. Hilda duduk dan mulai mengamati sekitarnya. Dia menyadari bahwa itu bukanlah kamarnya, dan yang dia tiduri bukanlah tempat tidurnya. Hilda menoleh untuk melihat sisi lain dari tempat tidur itu. Hatinya mencelos. Ada yang sudah tidur di sampingnya. Hilda membuka selimut putih yang sedari tadi menutupi tubuhnya, memastikan bahwa dia masih berpakaian lengkap.
Donny hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Hilda.
“Aku tidur di sebelah kamu semalam. But for God’s sake, aku tidak tertarik dengan wanita yang sedang mabuk, Hilda!” tegur Donny, memecahkan lamunan Hilda sekaligus meredakan kekhawatirannya.
“Apa yang terjadi semalam?” tanya Hilda polos. Berulang kali dia mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam, apa yang membuat kepalanya begitu pusing saat dia membuka matanya, apa yang membuatnya tidak pulang ke rumah semalam. Betapa keras dia berusaha, dia hanya menemukan ingatannya berupa potongan-potongan tanpa sambungan yang masuk akal.
“Harusnya aku yang tanya sama kamu apa yang terjadi kemarin sampai kamu membuat aku menemanimu sampai mabuk tanpa sepatah kata pun mengenai apa yang terjadi sama kamu!” bentak Donny. Dia sepertinya sudah merasa cukup menekan emosinya sejak semalam.
“Kemarin?” ulang Hilda. Dan memori itu pun kembali mengulang dalam ingatan Hilda.
Kemarin dia memergoki Edwin sedang bermesraan dengan wanita lain di apartemen kekasihnya itu. Dia hanya melayangkan tamparannya ke wajah Edwin dan wanita itu sebelum dia pergi dari apartemen Edwin. Lalu menghubungi Donny dan memintanya untuk menemaninya minum di bar.
Air mata mengalir membasahi pipi Hilda. Dia tidak sanggup lagi menahan luka di hatinya. Dia pun terisak-isak. Tangannya menutupi wajahnya yang basah dengan air mata.
“Edwin,” isak Hilda.
“Ada apa dengan Edwin?” tuntut Donny, nadanya tidak turun sedikitpun dari bentakan sebelumnya. Dari awal dia sudah tidak suka dengan kekasih Hilda itu. Dia yakin Edwin bukanlah lelaki yang baik untuk wanita seperti Hilda. Ingin sekali dia membuktikan pada Hilda bahwa dia bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Edwin, tetapi kesempatan itu tidak pernah datang. Rasa sakit yang mengiris hati Donny ketika melihat Hilda terpuruk seperti ini membuat Donny semakin ingin menghabisi Edwin dalam satu pukulan.
“Kamu bisa ga sih berhenti membentak-bentak aku?” jerit Hilda mengagetkan Donny. Hilda menghela napas sebelum dia menjelaskan lebih lanjut. “Dia itu selingkuh! Aku memergoki dia tidur sama wanita lain!”
Donny merasa iba. Dia merengkuhkan lengannya ke tubuh Hilda yang kini bergetar hebat. Hilda terisak-isak dalam pelukan Donny, membasahi dada Donny dengan air matanya yang mengalir deras.
-------------------------------------------------------------------------------
Cerita selanjutnya:
Wanita Ketiga - Final

Puaskah Kamu?

Teruntuk kamu,

Ketika aku membuka mata pagi ini, tidak ada secuilpun harapan akan terbersit tentang kamu. Entah apa yang membuatku menarikan jemariku di atas keyboard  dan menulis tentang kamu. Kamu yang sudah pergi dari hari-hariku harusnya tidak hadir seperti ini lagi. Menyusup diam dalam relung hatiku dan membuka cerita lama.

Jantungku berdetak kencang, bahkan aku bisa mendengarnya dalam kesunyian pagi. Tetapi, terlalu kencang sehingga aku merasa sesak. Sesak karena hanya ini yang aku punya sekarang tentang kamu. Menorehkan luka dalam setiap denyutnya.

Pantaskah aku merasa seperti ini untuk seorang kamu? Rasanya tidak. Aku memang tidak ingin menghilangkan cerita tentang kita, terlalu manis untuk dibuang. Aku hanya ingin menyingkirkan perasaan menggilaimu dari ingatanku. Biarlah yang ada di antara kita tetap murni, tetap apa adanya, tetap seperti yang kamu mau.

Tidak mengertikah kamu kalau aku akan baik-baik saja dengan segala keputusanmu? Apapun itu akan menjadi lebih baik untukku daripada kamu memutuskan untuk melupakan aku. Aku tidak perlu kamu untuk membalas perasaanku. Biarkan begitu saja, rasa itu milikku, jangan kau renggut. Ah, andai aku bisa berkata seperti itu, mungkin kamu tidak muncul dalam pikiranku pagi ini.

Puaskah kamu sekarang hanya bisa memandangku dari jauh? Senangkah kamu dengan hanya membaca kisahku? Bahagiakah kamu dengan hanya melihat senyumku dalam setiap keabadian gambar?

Sungguh, kalau kamu ingin pergi dari hidupku, pergilah, seperti yang sudah kamu lakukan selama ini. Tetaplah kamu di sana dan jangan kembali lagi. Jangan sentuh sedikitpun duniaku dalam bentuk apapun juga.

Mungkin Kamu

Entah apa namanya yang pernah kita miliki bersama
Tetapi itu yang terindah yang pernah kumiliki
Kini kumengais memori itu
Untuk obat canduku pada kebahagiaan

Ya mungkin ini tentang kamu
Yang pernah menghabiskan detik kebahagiaan denganku
Ini mungkin tentang kamu yang dulu menempati ruang kosong di hatiku
Dan bahkan ini kamu yang ada di bayanganku
Masih tetap mengisi hariku dengan penggalan cerita kita

I miss you...
I miss our friendship
Damn...I miss you so bad...

Jumat, 06 Juli 2012

Wanita Ketiga - Part 1


One more glass, please!” Hilda berseru pada bartender. Dengan segera, bartender itu menambahkan segelas vodka pada gelas Hilda. Lelaki di sebelahnya panik. Belum pernah Hilda minum sebanyak ini. Apapun yang terjadi sore itu pastilah sangat berat buat Hilda sampai dia memutuskan untuk menghabiskan malamnya di salah satu bar di bilangan Jakarta. Suasana hingar bingar tidak mematahkan niatnya untuk terus menenggak berbagai jenis minuman keras.
“Whoa…whoa…whoa…kamu ga boleh minum lagi!” Lelaki itu merebut gelas yang hampir menyentuh bibir Hilda. Hilda menoleh, wajahnya merajuk.
“Kenapa?” tuntut Hilda. “Kenapa aku ga boleh minum lagi?” Hilda menaruh kedua tangannya di pundak lelaki itu. Dia mendekatkan wajahnya pada lelaki itu, membuat lelaki itu menyergitkan hidung karena dia bisa mencium aroma alkohol sangat kuat dari setiap helaan napas wanita itu.
Lelaki itu menyentuh wajah Hilda, membuat wanita itu memfokuskan matanya pada sepasang mata yang menatapnya iba.
“Karena ada aku,” tegas lelaki itu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita berikutnya:




Tantang Aku

Tantang aku untuk lebih berani mencintai
Jangan biarkan aku patah arang
Walaupun begitu banyak rintangan yang harus aku taklukkan

Tantang aku untuk membuka lebar mataku
Hingga tidak setitik pun lepas dari pandanganku
Biar semua bisa terekam dalam memori hidupku

Tantang aku untuk berani jujur
Membiarkan dunia menikmati aku yang sesungguhnya
Tanpa ekor tuntutan orang lain mengikutiku

Tantang aku untuk terus bertahan
Karena dunia ini keras
Begitu juga dengan mimpiku yang besar