Senin, 09 Juli 2012

Wanita Ketiga - Final

Cerita sebelumnya: 
Wanita Ketiga - Part 1
Wanita Ketiga - Part 2

----------------------------------------------------------------------------------------------

Hilda melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran Perancis, tempat dia bertemu janji dengan Donny. Hilda membalas sapaan pelayan yang membukakan pintu untuknya dengan seutas senyum. Matanya menyapu restoran itu dengan heran. Tidak ada seorangpun yang duduk makan di restoran itu, padahal itu adalah Sabtu malam. Dia hanya melihat Donny duduk di salah satu meja.
Lelaki itu tersenyum ketika matanya bertemu dengan sosok Hilda yang menggunakan little black dress yang membalut tubuhnya dengan indah. Hilda berjalan mendekati Donny.
“Kamu memesan restoran ini?” tanya Hilda. Donny mengangguk.
“Spesial buat kamu,” jawab Donny.
“Dalam rangka apa?” cecar Hilda.
“Dengar, selama ini kamu sudah melalui banyak hal, terutama akhir-akhir ini kamu selalu terlihat sedih dan stress. Aku hanya ingin membahagiakan kamu, mengembalikan senyum kamu,” kata Donny. Hilda tersenyum. Hatinya tersentuh.
“Terima kasih, Don!” ujar Hilda tulus.
Entah karena malam itu berlalu begitu indah dan menyentuh relung terdalam hati Hilda atau karena kadar alkohol yang masuk ke tubuhnya melalui wine yang terus menerus dinikmatinya, Hilda kini larut dalam ciuman lembut yang diberikan Donny di akhir acara makan malam mereka. Setelah beberapa lama, Hilda pun setuju untuk menginap di sebuah hotel yang tidak jauh dari restoran itu.
Donny mendorong pelan tubuh Hilda sehingga wanita itu terbaring di atas kasur yang empuk. Donny kembali menciuminya. Hilda dilanda oleh dilemma yang begitu hebat. Dia tahu dia harus menghentikan Donny sebelum lelaki itu bertindak lebih jauh. Tetapi dia juga menikmati rasa hangat dari napas Donny yang menyentuh kulitnya, dan dia menginginkan lebih.
Donny membelai pipi Hilda, matanya begitu dalam menatap wanita itu. Hilda bisa melihat ada gairah dalam kelembutan tatapan Donny. Dan dia juga yakin lelaki itu pasti melihat hal yang sama dalam dirinya sekarang. Tetapi ini tidak boleh terjadi. Hilda tidak ingin ada yang merasa sakit hati hanya karena gairah semata.
Can I?” desah Donny sambil menyentuh leher Hilda dengan bibirnya, meminta ijin untuk bertindak lebih jauh.
Hold it!” ujar Hilda. Dia memegang kedua bahu Donny dan berusaha mendorong lelaki itu menjauh dari tubuhnya. Donny mengangkat tubuhnya menjauh dari Hilda, membuat jarak di antara mereka. Hilda beringsut di kepala ranjang, menyandarkan tubuhnya pada sandaran itu. Dia menatap lekat lelaki itu. Donny menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, gugup.
“Aku tidak bisa melakukan ini, Donny!” bisik Hilda. “Kita tidak boleh melakukan ini.” Donny meraih tangan Hilda dan menggenggamnya.
“Aku menginginkan kamu dan aku tahu kamu juga menginginkan aku,” bujuk Donny, walaupun dia tahu kata-kata Hilda benar, mereka tidak bisa melakukan ini. Tetapi, Hilda sudah menanggapi undangannya untuk makan malam bersama yang penuh keromantisan. Wanita itu juga sudah membalas ciumannya lebih dari yang dia duga. Dan pada akhirnya mengiyakan ajakannya untuk menginap di sebuah kamar hotel. Donny tidak bisa melihat ke mana akhir malam yang sempurna ini selain di atas tempat tidur itu, bersama Hilda.
Hilda menelan ludah. Donny tidak salah, sama sekali tidak salah. Dia menginginkan lelaki itu. Tetapi dia tidak bisa, tidak boleh. Hilda menatap mata Donny. Dia tahu dia telah jatuh cinta pada lelaki ini sebelum dia jatuh cinta pada lelaki-lelaki lain setelahnya. Ini juga momen yang mungkin dia tunggu-tunggu selama ini. Tetapi semua sudah terlambat.
Hilda menarik napas panjang. Dia mendekatkan dirinya pada Donny yang duduk di depannya.
“Aku mencintai kamu, Donny. Aku mau kamu bahagia,” bisik Hilda. Donny bisa merasakan rambut-rambut di tengkuknya berdiri. Donny merengkuh Hilda dalam pelukannya.
“Aku juga mencintai kamu,” aku Donny. “Be mine tonight!” lanjut Donny penuh desakan. Dia begitu menginginkan wanita ini lebih dari apapun yang dia inginkan. Donny merasakan gelengan Hilda di pundaknya. Wanita itu lalu melepaskan dirinya dari pelukan Donny.
“Don, aku minta maaf karena aku bertindak terlalu jauh malam ini,” kata Hilda. “Aku mencintai kamu, tetapi bukan cinta yang sama seperti yang kamu rasakan.”
“Maksud kamu apa?” tuntut Donny. “Ciuman kita nyata, sentuhan kamu begitu menginginkan aku. Apa itu tidak cukup buat kamu?” Hilda meraih tangan kanan Donny, mengangkatnya setinggi hidung mereka yang sejajar. Bias lampu tidur yang remang-remang menerangi kamar itu mengenai benda yang melingkar di jari manis Donny.
“Kamu sudah menikah, Donny! Dengan wanita yang bukan aku,” tegas Hilda. “Apa bedanya kamu dan Edwin kalau kamu meniduri aku malam ini?” Donny tersigap. Dengan gerakan yang tidak pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri, Donny melepas cincin itu dan meletakkannya di atas meja yang ada di samping tempat tidur. Dia menginginkan Hilda malam itu, titik.
Hilda menjauhkan dirinya dari Donny. Ada rasa benci yang kini menguasai dirinya. Rasa benci untuk Donny dan juga untuk dirinya sendiri. Dia bangun dari tempat tidur, mencari-cari sepatunya dalam gelap.
Donny tidak diam saja, dia tidak akan membiarkan Hilda pergi. Dengan satu gerakan cepat dia menangkap tubuh Hilda dan menahannya di antara tembok dan tubuhnya sendiri.
“Aku menginginkan kamu. Ayolah…aku tahu kamu juga begitu menginginkan aku,” desak Donny. “Kita selesaikan malam ini dan baru ambil keputusan besok pagi.” Hilda menggeleng cepat. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia takut.
I’ll be gentle, don’t be scared!” bujuk Donny sambil menyusuri sisi wajah Hilda dengan jemarinya. Hilda menggeleng lagi. Dia tidak dapat menahan air matanya lagi. Ketakutan dan kebenciannya menjadi satu, melebur menjadi butir-butir air mata.
“Lepaskan aku!” pinta Hilda. Donny mengencangkan pegangannya pada kedua pergelangan tangan Hilda. “Lepaskan aku, Donny!” teriak Hilda. “Aku tidak tertarik bercinta dengan kamu!” Hilda terisak-isak. Spontan Donny melepaskan pegangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Hilda.
“Donny, Edwin tidur dengan wanita lain. Aku tidak bisa menjadi orang yang sama dengan orang yang sudah menghancurkan hidupku. Kamu tahu, tanpa Edwin, hidupku sudah tidak ada artinya lagi,” tangis Hilda. Tubuhnya merosot ke lantai kamar hotel. Donny menatapnya dalam diam. “Cuma kamu yang mau menolong aku, menemani aku melalui semuanya ini.” Donny hanya setengah mendengarkan. Keterkejutannya belum hilang. Dia memikirkan hal yang lain.
“Apa maksud kamu ketika kamu bilang kamu mencintai aku? Kamu pikir kata-kata itu hanya buat permainan?” bentak Donny. Dia tiba-tiba muak berada di depan Hilda.
“A…aku…aku benar-benar mencintai kamu, it’s not a lie,” bantah Hilda. Donny merapikan kemejanya yang mencuat di sana-sini. Dia mengambil cincin kawinnya dan mengenakannya kembali di jari manis kanannya. Dia memungut jasnya dari lantai dan melangkah menuju pintu kamar hotel. Dia membuka pintu itu.
“Ya, kamu mencintai aku tetapi bukan cinta yang sama seperti yang aku rasakan,” ujar Donny mengulang kalimat yang diucapkan Hilda sebelumnya. Donny menutup pintu kamar itu dan meninggalkan Hilda yang tenggelam dalam kesendirian dan kesedihan.

-Selesai-

0 comments: