Plak!
Aku berbalik menampar
wajah Nando.
Keterlaluan sekali
dia, makiku dalam hati.
“Yuk, kita bikin juga
yang seperti itu.”
Begitu santai Nando
mengucapkannya di balik telingaku, menghentikan derasan air mataku menyaksikan peristiwa
paling mengharukan yang baru saja kusaksikan. Arika, sepupuku, baru saja
melahirkan. Dan kini Fabian, suaminya, sedang menggendong seorang bayi mungil
yang masih semerah darah dengan wajah bangga dan haru. Tidak sedikit yang
mengikuti jejakku menangis.
Sebenarnya aku
menangis tidak sepenuhnya karena terharu, tetapi juga karena tidak kuat menahan
perih yang mencubit-cubit hatiku karena Nando datang ke sini. Kalau saja Fabian
menyadari bahwa Nando sempat ngotot masuk ke dalam ruangan bersalin, pasti
Nando tidak akan selamat dari gulatan Fabian.
Memangnya siapa Nando?
Mantan pacar bukan, teman juga sekedarnya. Tapi Fabian tidak menyadari lumuran
cinta Nando pada istrinya itu sudah menyertai Nando selama beberapa tahun
belakangan ini. Ya, walaupun Nando tahu Arika memilih Fabian. Dan menikah
dengannya. Dan kini mempunyai sebuah keluarga mungil yang bahagia dengan Fabian.
Tidak ada celah buat Nando.
Sakit itu terus
menggigiti hatiku. Nando yang aku cinta. Nando yang selalu aku rindukan. Nando
yang bertahun-tahun mengabaikan aku. Nando yang bahkan tidak menyadari aku
hadir di tempat itu. Nando yang tidak pernah memilih aku. Nando yang masih
mencintai Arika bahkan ketika Arika sudah memiliki keluarga sendiri.
Oh, betapa luhurnya
perasaan cinta Nando…sampai dia mengucapkan kalimat sialan yang membuat aku
menampar wajahnya.
Bukannya aku sudah
melupakan Nando. Tidak, sedetikpun aku tidak pernah bisa. Perasaanku padanya…entahlah…aku
tidak tahu namanya. Apapun namanya, perasaan itu masih menghantuiku mewarnai
malam-malamku dengan mimpi tentangnya.
Bahuku masih naik
turun menahan rasa haru dan perih yang bersamaan menyerangku. Airmataku sudah
berhenti dan hanya meninggalkan jejak-jejaknya di pipiku. Aku menatap Nando
yang baru saja kutampar. Dia membalas pandanganku dengan memelas. Aku tidak
peduli semua perhatian tercurah pada kami berdua yang terlihat siap tempur di
medan perang.
“Kamu pikir kamu
siapa, bisa bilang begitu sama aku, hah?” semprotku. Nando hanya diam. Dia menunduk.
Bagiku, lagaknya terlihat seperti orang yang menyesal. Entah apa yang dia perlu
sesali. Hm…mungkin menyesali kenyataan bahwa dia tidak bisa bersama Arika. Lalu,
perlahan tapi pasti, Nando mengangkat kepalanya dan menatap mataku.
“Aku tahu kamu masih cinta
sama aku, Fran.”
Oh, berani sekali dia
mengumumkannya pada semua orang di sini. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang
hadir di sini tidak semuanya mengenalku. Dan yang mengenalku sudah tahu cerita
lama ini.
“Lalu?” tanyaku sambil menatapnya dengan dingin.
“Bisakah kita bersama?”
Lancang!
Aku ingin memakinya. Aku
juga ingin mengumumkan tentang perasaannya pada ibu si bayi mungil yang baru saja
mengecap dinginnya dunia. Tapi aku tahu diri. Tidak perlu merusak momen bahagia
ini dengan roman picisanku.
Aku menatap mata Nando
dengan tegas.
“Tidak. Sudah terlambat,”
tegasku.
Walaupun aku masih
menginginkan Nando, tetapi bukan seperti ini. Bukan menjadi pilihan terakhir
saat pilihan pertamanya sudah tidak tersedia lagi.
“Maaf, Nando. Kamu
bukan orang yang tepat untuk mengisi hari-hariku lagi. Terimalah, waktunya
sudah berlalu. Aku berubah.”
Ya, aku adalah pembohong ulung.
0 comments:
Posting Komentar