Rabu, 25 Juli 2012

Who Do You Think You Are


Plak!

Aku berbalik menampar wajah Nando.

Keterlaluan sekali dia, makiku dalam hati.

“Yuk, kita bikin juga yang seperti itu.”

Begitu santai Nando mengucapkannya di balik telingaku, menghentikan derasan air mataku menyaksikan peristiwa paling mengharukan yang baru saja kusaksikan. Arika, sepupuku, baru saja melahirkan. Dan kini Fabian, suaminya, sedang menggendong seorang bayi mungil yang masih semerah darah dengan wajah bangga dan haru. Tidak sedikit yang mengikuti jejakku menangis.

Sebenarnya aku menangis tidak sepenuhnya karena terharu, tetapi juga karena tidak kuat menahan perih yang mencubit-cubit hatiku karena Nando datang ke sini. Kalau saja Fabian menyadari bahwa Nando sempat ngotot masuk ke dalam ruangan bersalin, pasti Nando tidak akan selamat dari gulatan Fabian.

Memangnya siapa Nando? Mantan pacar bukan, teman juga sekedarnya. Tapi Fabian tidak menyadari lumuran cinta Nando pada istrinya itu sudah menyertai Nando selama beberapa tahun belakangan ini. Ya, walaupun Nando tahu Arika memilih Fabian. Dan menikah dengannya. Dan kini mempunyai sebuah keluarga mungil yang bahagia dengan Fabian. Tidak ada celah buat Nando.

Sakit itu terus menggigiti hatiku. Nando yang aku cinta. Nando yang selalu aku rindukan. Nando yang bertahun-tahun mengabaikan aku. Nando yang bahkan tidak menyadari aku hadir di tempat itu. Nando yang tidak pernah memilih aku. Nando yang masih mencintai Arika bahkan ketika Arika sudah memiliki keluarga sendiri.

Oh, betapa luhurnya perasaan cinta Nando…sampai dia mengucapkan kalimat sialan yang membuat aku menampar wajahnya.

Bukannya aku sudah melupakan Nando. Tidak, sedetikpun aku tidak pernah bisa. Perasaanku padanya…entahlah…aku tidak tahu namanya. Apapun namanya, perasaan itu masih menghantuiku mewarnai malam-malamku dengan mimpi tentangnya.

Bahuku masih naik turun menahan rasa haru dan perih yang bersamaan menyerangku. Airmataku sudah berhenti dan hanya meninggalkan jejak-jejaknya di pipiku. Aku menatap Nando yang baru saja kutampar. Dia membalas pandanganku dengan memelas. Aku tidak peduli semua perhatian tercurah pada kami berdua yang terlihat siap tempur di medan perang.

“Kamu pikir kamu siapa, bisa bilang begitu sama aku, hah?” semprotku. Nando hanya diam. Dia menunduk. Bagiku, lagaknya terlihat seperti orang yang menyesal. Entah apa yang dia perlu sesali. Hm…mungkin menyesali kenyataan bahwa dia tidak bisa bersama Arika. Lalu, perlahan tapi pasti, Nando mengangkat kepalanya dan menatap mataku.

“Aku tahu kamu masih cinta sama aku, Fran.”

Oh, berani sekali dia mengumumkannya pada semua orang di sini. Aku sudah tidak peduli lagi. Yang hadir di sini tidak semuanya mengenalku. Dan yang mengenalku sudah tahu cerita lama ini.

“Lalu?” tanyaku sambil menatapnya dengan dingin.

“Bisakah kita bersama?” Lancang!

Aku ingin memakinya. Aku juga ingin mengumumkan tentang perasaannya pada ibu si bayi mungil yang baru saja mengecap dinginnya dunia. Tapi aku tahu diri. Tidak perlu merusak momen bahagia ini dengan roman picisanku.

Aku menatap mata Nando dengan tegas.

“Tidak. Sudah terlambat,” tegasku.

Walaupun aku masih menginginkan Nando, tetapi bukan seperti ini. Bukan menjadi pilihan terakhir saat pilihan pertamanya sudah tidak tersedia lagi.

“Maaf, Nando. Kamu bukan orang yang tepat untuk mengisi hari-hariku lagi. Terimalah, waktunya sudah berlalu. Aku berubah.”

Ya, aku adalah pembohong ulung.

0 comments: