diposting di k.com dengan tag score 51
----------------------------------------
Namaku Louisa Katarina. Sebagai pengagum nama-nama indah, aku sangat menyukai namaku yang unik itu. Impianku yang paling aneh – versi teman-temanku – adalah punya keluarga yang semuanya memiliki nama yang bagus.
Hal itu juga yang menyebabkan aku banyak digoda oleh teman-teman dekatku mengenai hal ini. Apalagi kalau mereka mengingat kejadian saat aku SMP dulu. Harus kuakui, memang agak memalukan sih.
Aku sudah dikenal sebagai maniak nama-nama bagus sejak SMP, tepatnya sejak aku mulai beranjak remaja. Saking aku suka sama nama yang bagus, kami sama-sama melihat absen di setiap kelas dan mencari satu nama yang bagus untuk dijadikan tantangan mendekati cowok itu. Akhirnya, setelah mencari, aku menemukan satu nama, yaitu Jonathan Kelvin. Menurutku, nama itu yang paling keren satu angkatan. Lalu kami sepakat untuk memulai rencana gila itu.
Betemulah aku dengan si pemilik nama Jonathan Kelvin itu. Tapi dalam sekali lihat aku langsung mengundurkan diri dan lebih rela menraktir teman-temanku makan pizza daripada harus mendekati cowok itu. Teman-temanku hanya tertawa, setengah bahagia setengah meledek. Walaupun namanya keren, tapi wajahnya sama sekali tidak keren. Oke, bisa dibilang aku sangat pemilih. Cowok itu memakai kacamata yang tebalnya hanya sedikit lebih tipis daripada pantat botol kecap yang sering dibeli oleh mamaku. Belum ditambah dengan giginya yang dipasang kawat. Tolong deh, delapan tahun yang lalu, memakai kawat gigi belum sekeren sekarang. Dan penampilannya yang super minus menurutku itu, diakhiri dengan cara jalannya yang selalu melihat ke bawah. Ada apa sih memangnya di lantai sekolah kami?
Walaupun kejadiannya sudah bertahun-tahun berlalu dan harusnya itu memberi pelajaran penting buatku, aku tetap saja si pencari pasangan hidup yang mementingkan nama. Begitulah aku.
Sore ini aku pergi ke salah satu café di bilangan Jakarta. Aku kembali berkumpul dengan teman-teman dekatku. Kami memang sudah teramat jarang berkumpul bersama karena sudah kuliah di tempat yang berbeda-beda juga. Kebetulan, salah satu temanku yang kuliah di luar negeri sedang liburan. Jadi, kami merasa ini adalah waktu terbaik untuk kembali berkumpul.
Ketika saling menanyakan kabar masing-masing, teman-temanku kaget ketika mengetahui bahwa aku satu-satunya di antara mereka yang masih sendiri alias belum punya pacar.
“Ah, pasti kamu bohong deh! Kamu khan tergolong oke, Lou!” kata Cynthia, salah satu temanku. “Jujur donk, Lou! Kita toh udah punya pacar masing-masing.” Aku tersenyum.
“Jangan bilang kamu masih pemilih kayak dulu?” kata Maria. Aku hanya mengaduk-aduk jus jerukku dengan sedotannya sambil mengangkat bahu.
“Gila ya! Inget umur donk, Lou!” kata Vania, temanku yang mengambil kuliah di luar negeri.
“Ambisi aku masih sama kok,” kataku. “Kepengen punya keluarga yang namanya bagus semua.”
“Ga mungkin deh, di kampus kamu yang notabene nya kampus mentereng itu nama cowok-cowoknya kampungan semua?” kata Vania.
“Aku ga bilang gitu kok,” kataku.
“Trus?” kata Maria.
“Nama mereka sih ga kampungan. Cuma tingkahnya tuh minus semua,” kataku. “Kebanyakan menduakan cewek.”
Teman-temanku serempak membentuk huruf ‘o’ dengan bibir mereka.
Tak lama kemudian, pesanan makanan sudah datang dan kami asyik menikmati makanan itu.
Setelah makan, para pacar temanku itu datang untuk bergabung bersama kami. Mereka memang tidak bisa ikut makan-makan karena rata-rata sudah bekerja. Melihat kedatangan mereka, aku langsung lemas.
“Jadi nyamuk donk nih?” kataku.
“Tenang, Lou, aku udah minta pacarku bawa satu temennya yang jomblo juga. Ntar dikenalin deh. Dijamin yang ini tingkahnya ga minus,” kata Cynthia sambil mengedipkan mata.
Benar saja, cowok-cowok itu datang berempat. Masing-masing temanku langsung melambai pada pacarnya masing-masing. Sebelum mereka sampai ke bangku kami, salah satu cowok berbelok ke arah toilet. Aku diam-diam berdoa kalau cowok yang berbelok itu masih single dan sengaja dikenalkan padaku. Habisnya, penampilannya paling keren, pembawaannya juga kalem, wajah cukup bisa membuatku menatap lekat-lekat.
“Mario.” Itu pacarnya Maria. Klop banget sih mereka.
“Gandhi.” Itu pacarnya Vania. Namanya kayak jaman Borobudur waktu dibangun.
“Renato.” Itu pacarnya Cynthia. Pasti orangtuanya mengharapkan yang lahir cewek dan sudah disiapkan nama Renata. Ga taunya yang keluar cowok, jadilah nama cowok ini Renato. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis sambil menjabat tangannya.
Tunggu…tunggu…berarti, cowok yang ke toilet tadi masih single dan akan dikenalkan padaku. Wah, mimpi apa aku semalam?
“Temenku itu mau dikenalin sama temenmu ini ya?” tanya Renato sambil menunjuk aku. Cynthia mengangguk.
“Gimana menurut kamu?” kata Cynthia.
“Hey! Apa-apaan sih?” kataku.
“Hm…” Renato memberi tatapan menilai. “Not bad lah!”
“Maksudnya apa tuh?” kataku. “Kok cuma not bad?”
“Hehehe…I’m in relationship. Tapi ga tau ya, pendapat dia?” kata Renato sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah toilet.
Ini dia pangeranku. Hehehe…
“Lama banget sih?” tanya Renato. “Ngaca dulu di kamar mandi?” Oh, apapun jawabannya aku tidak peduli. Cowok heteroseksual bukan masalah, malah ada nilai plusnya. Itu khan artinya dia suka kerapihan dan wangi.
Cowok itu tersenyum.
“Enggak. Ngapain ngaca? Toiletnya penuh!” kata cowok itu. Nah, ini dia, lelaki sejati.
“Ya udah, kenalin nih! Temennya cewek gw!” Renato menunjukku. Aku dengan segera memasang senyum terbaik dan langsung mengulurkan tangan. Cowok itu menyambutnya. Tangannya hangat. Hm...
“Louisa.”
“Jaka.”
Senyumku langsung lenyap seketika mendengar cowok itu menyebut namanya. WHAT? Jaka? Calon pangeranku itu namanya Jaka? Ga salah tuh? Aku melirik teman-temanku. Mereka setengah mati menahan tawa melihat reaksiku yang seperti melihat hantu.
“Kamu ga apa-apa?” Cowok itu membuka suaranya. Aku kembali menatap cowok itu. Oh, matanya berwarna coklat muda, warna yang selalu bisa membuatku merasa tenang. Mata yang teduh. “Halo? Louisa?” Cowok itu melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Aku tersadar dari lamunanku.
“Apa?” kataku dengan sedikit gelagapan.
“Kamu ga apa-apa?” kata cowok itu.
“Oh, ga kok,” kataku. “Aku oke. Duduk deh!”
Darimana oke? Impianku punya cowok ganteng kayak dia, hancur berantakan. Wajahnya yang ganteng, ditambah dengan lesung pipi yang letaknya sempurna itu. Matanya yang coklat muda meneduhkan. Rambutnya yang modis. Senyumnya yang manis. Garis wajahnya yang tegas. Tangannya yang hangat. Oh, betapa aku menginginkannya. Tapi namanya Jaka? Mana bisa aku punya pacar namanya Jaka?
-bersambung-
3 comments:
assssss
lu banget. kok bisa kepikiran sih ide kaya beginian?
btw nama jaka menurut gw fine-fine aja, karena gw kebayang satu cowo yang namanyanya jaka ganteng hahahaha
as as...
Nama g dipake disitu, jadi malu :">
huehehehehehhe...
Tapi jujur ajah, dah bagus ceritanya
lebih bagus dari cerita2 u yg dah g baca sebelomnya.
Keep goin' yahhhh!!!
klo ada yg namanya jaka or bejo, whatever lah..
yg penting rejekinya coy kayak jonathan, kelvin, dll... :D
G tunggu cerita slanjutnya...
wakakak.. Jakaa...
Posting Komentar