Cerita sebelumnya:
Wanita Ketiga - Part 1
Wanita Ketiga - Part 2
----------------------------------------------------------------------------------------------
Hilda
melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran Perancis, tempat dia bertemu janji
dengan Donny. Hilda membalas sapaan pelayan yang membukakan pintu untuknya
dengan seutas senyum. Matanya menyapu restoran itu dengan heran. Tidak ada
seorangpun yang duduk makan di restoran itu, padahal itu adalah Sabtu malam.
Dia hanya melihat Donny duduk di salah satu meja.
Lelaki itu
tersenyum ketika matanya bertemu dengan sosok Hilda yang menggunakan little black dress yang membalut
tubuhnya dengan indah. Hilda berjalan mendekati Donny.
“Kamu memesan
restoran ini?” tanya Hilda. Donny mengangguk.
“Spesial buat
kamu,” jawab Donny.
“Dalam rangka
apa?” cecar Hilda.
“Dengar, selama
ini kamu sudah melalui banyak hal, terutama akhir-akhir ini kamu selalu
terlihat sedih dan stress. Aku hanya ingin membahagiakan kamu, mengembalikan
senyum kamu,” kata Donny. Hilda tersenyum. Hatinya tersentuh.
“Terima kasih,
Don!” ujar Hilda tulus.
Entah karena
malam itu berlalu begitu indah dan menyentuh relung terdalam hati Hilda atau
karena kadar alkohol yang masuk ke tubuhnya melalui wine yang terus menerus dinikmatinya, Hilda kini larut dalam ciuman
lembut yang diberikan Donny di akhir acara makan malam mereka. Setelah beberapa
lama, Hilda pun setuju untuk menginap di sebuah hotel yang tidak jauh dari
restoran itu.
Donny mendorong
pelan tubuh Hilda sehingga wanita itu terbaring di atas kasur yang empuk. Donny
kembali menciuminya. Hilda dilanda oleh dilemma yang begitu hebat. Dia tahu dia
harus menghentikan Donny sebelum lelaki itu bertindak lebih jauh. Tetapi dia
juga menikmati rasa hangat dari napas Donny yang menyentuh kulitnya, dan dia
menginginkan lebih.
Donny membelai
pipi Hilda, matanya begitu dalam menatap wanita itu. Hilda bisa melihat ada
gairah dalam kelembutan tatapan Donny. Dan dia juga yakin lelaki itu pasti
melihat hal yang sama dalam dirinya sekarang. Tetapi ini tidak boleh terjadi.
Hilda tidak ingin ada yang merasa sakit hati hanya karena gairah semata.
“Can I?” desah Donny sambil menyentuh
leher Hilda dengan bibirnya, meminta ijin untuk bertindak lebih jauh.
“Hold it!” ujar Hilda. Dia memegang kedua
bahu Donny dan berusaha mendorong lelaki itu menjauh dari tubuhnya. Donny
mengangkat tubuhnya menjauh dari Hilda, membuat jarak di antara mereka. Hilda
beringsut di kepala ranjang, menyandarkan tubuhnya pada sandaran itu. Dia
menatap lekat lelaki itu. Donny menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, gugup.
“Aku tidak bisa
melakukan ini, Donny!” bisik Hilda. “Kita tidak boleh melakukan ini.” Donny
meraih tangan Hilda dan menggenggamnya.
“Aku
menginginkan kamu dan aku tahu kamu juga menginginkan aku,” bujuk Donny,
walaupun dia tahu kata-kata Hilda benar, mereka tidak bisa melakukan ini.
Tetapi, Hilda sudah menanggapi undangannya untuk makan malam bersama yang penuh
keromantisan. Wanita itu juga sudah membalas ciumannya lebih dari yang dia
duga. Dan pada akhirnya mengiyakan ajakannya untuk menginap di sebuah kamar
hotel. Donny tidak bisa melihat ke mana akhir malam yang sempurna ini selain di
atas tempat tidur itu, bersama Hilda.
Hilda menelan
ludah. Donny tidak salah, sama sekali tidak salah. Dia menginginkan lelaki itu.
Tetapi dia tidak bisa, tidak boleh. Hilda menatap mata Donny. Dia tahu dia
telah jatuh cinta pada lelaki ini sebelum dia jatuh cinta pada lelaki-lelaki
lain setelahnya. Ini juga momen yang mungkin dia tunggu-tunggu selama ini.
Tetapi semua sudah terlambat.
Hilda menarik
napas panjang. Dia mendekatkan dirinya pada Donny yang duduk di depannya.
“Aku mencintai
kamu, Donny. Aku mau kamu bahagia,” bisik Hilda. Donny bisa merasakan
rambut-rambut di tengkuknya berdiri. Donny merengkuh Hilda dalam pelukannya.
“Aku juga
mencintai kamu,” aku Donny. “Be mine
tonight!” lanjut Donny penuh desakan. Dia begitu menginginkan wanita ini
lebih dari apapun yang dia inginkan. Donny merasakan gelengan Hilda di
pundaknya. Wanita itu lalu melepaskan dirinya dari pelukan Donny.
“Don, aku minta
maaf karena aku bertindak terlalu jauh malam ini,” kata Hilda. “Aku mencintai
kamu, tetapi bukan cinta yang sama seperti yang kamu rasakan.”
“Maksud kamu
apa?” tuntut Donny. “Ciuman kita nyata, sentuhan kamu begitu menginginkan aku.
Apa itu tidak cukup buat kamu?” Hilda meraih tangan kanan Donny, mengangkatnya
setinggi hidung mereka yang sejajar. Bias lampu tidur yang remang-remang
menerangi kamar itu mengenai benda yang melingkar di jari manis Donny.
“Kamu sudah
menikah, Donny! Dengan wanita yang bukan aku,” tegas Hilda. “Apa bedanya kamu
dan Edwin kalau kamu meniduri aku malam ini?” Donny tersigap. Dengan gerakan
yang tidak pernah terpikirkan oleh dirinya sendiri, Donny melepas cincin itu
dan meletakkannya di atas meja yang ada di samping tempat tidur. Dia menginginkan
Hilda malam itu, titik.
Hilda menjauhkan
dirinya dari Donny. Ada rasa benci yang kini menguasai dirinya. Rasa benci
untuk Donny dan juga untuk dirinya sendiri. Dia bangun dari tempat tidur,
mencari-cari sepatunya dalam gelap.
Donny tidak diam
saja, dia tidak akan membiarkan Hilda pergi. Dengan satu gerakan cepat dia
menangkap tubuh Hilda dan menahannya di antara tembok dan tubuhnya sendiri.
“Aku
menginginkan kamu. Ayolah…aku tahu kamu juga begitu menginginkan aku,” desak
Donny. “Kita selesaikan malam ini dan baru ambil keputusan besok pagi.” Hilda
menggeleng cepat. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia takut.
“I’ll be gentle, don’t be scared!” bujuk
Donny sambil menyusuri sisi wajah Hilda dengan jemarinya. Hilda menggeleng
lagi. Dia tidak dapat menahan air matanya lagi. Ketakutan dan kebenciannya
menjadi satu, melebur menjadi butir-butir air mata.
“Lepaskan aku!”
pinta Hilda. Donny mengencangkan pegangannya pada kedua pergelangan tangan Hilda.
“Lepaskan aku, Donny!” teriak Hilda. “Aku tidak tertarik bercinta dengan kamu!”
Hilda terisak-isak. Spontan Donny melepaskan pegangannya dan menjauhkan
tubuhnya dari Hilda.
“Donny, Edwin
tidur dengan wanita lain. Aku tidak bisa menjadi orang yang sama dengan orang
yang sudah menghancurkan hidupku. Kamu tahu, tanpa Edwin, hidupku sudah tidak
ada artinya lagi,” tangis Hilda. Tubuhnya merosot ke lantai kamar hotel. Donny
menatapnya dalam diam. “Cuma kamu yang mau menolong aku, menemani aku melalui
semuanya ini.” Donny hanya setengah mendengarkan. Keterkejutannya belum hilang.
Dia memikirkan hal yang lain.
“Apa maksud kamu
ketika kamu bilang kamu mencintai aku? Kamu pikir kata-kata itu hanya buat
permainan?” bentak Donny. Dia tiba-tiba muak berada di depan Hilda.
“A…aku…aku
benar-benar mencintai kamu, it’s not a
lie,” bantah Hilda. Donny merapikan kemejanya yang mencuat di sana-sini. Dia
mengambil cincin kawinnya dan mengenakannya kembali di jari manis kanannya. Dia
memungut jasnya dari lantai dan melangkah menuju pintu kamar hotel. Dia membuka
pintu itu.
“Ya, kamu
mencintai aku tetapi bukan cinta yang sama seperti yang aku rasakan,” ujar
Donny mengulang kalimat yang diucapkan Hilda sebelumnya. Donny menutup pintu
kamar itu dan meninggalkan Hilda yang tenggelam dalam kesendirian dan
kesedihan.
-Selesai-